Saya pulang

Saya ingin sekali pulang.

Pada imajinasi seperti ini.

Pada hening taman belakang di tepi danau itu.
Mendapatimu disana, berjalan di antara bunga-bunga. Saya ingin sekali melihat angin meniupkan asap rokokmu, yang pernah membuat saya menyebutmu perempuan nakal, dan karena itu kita berdebat berjam-jam tentang definisi baik, nakal dan liar. Saya ingin, selepas dari bunga-bunga, di bahwa pokok angsana, sembari merokok, barangkali dengan si Yankee, anjing yang dulu saya beri saat ulang tahunmu, kamu terkejut melihat saya tiba-tiba datang. Namun, terkejutmu terkejut yang matang, hanya matamu yang bersinar-sinar gembira melihat saya dan tubuh yang mulai tambun ini, dengan rambut yang juga mulai memutih. Lalu, kamu berjalan menghampiri, diiringi Yankee, yang kalau pagi selalu berlari mengejar capung. Lalu selalu, kamu akan tertawa, dan,” hei, sialan, tanpa bilang-bilang”.

Saya ingin pulang

Walau saya tahu, setelah berbasa-basi sejenak, kamu akhirnya akan meninggalkan saya sendiri di taman, atau bermain bola bersama Yankee. Karena kamu akan kembali tenggelam pada naskah-naskah bahasa asing, sebagian Belanda, tentang hukum-hukum internasional, yang sudah menumpuk di meja persegimu, seperti juga bungkus-bungkus rokok yang berjejer rapi di meja bundar kecil pojok kamarmu.

Dan, seperti biasa, saya akan membaca Hemingway di bangku kecil di bawah angsana itu. Sementara kamu, dengan lagu Dream Theatermu, dimana Pull Me Under kamu putar berkali-kali, akan menyeruput kopi hitam pekatmu. Sambil membaca, biasanya saya lihat kamu, di jendela kayu. Tangan kirimu, mendekatkan cangkir, kamu menyeruput kopi. Kamu selalu tampak cantik, dan cerdas, ketika itu. Dan saya, selalu merasa waktu berhenti berputar, saat itu.

Saya pulang.

Pada pintu kayu rumah danaumu yang tidak pernah tertutup itu.

Menjelang gelap. Saya lalu akan masuk ke kamarmu, kamu mandi. Dan bersenandung pelan dengan suara yang serak basah. Saya lalu gila jika mendengarmu bersenandung dari kamar mandi. Showermu berhenti menderas, dan saya tergoda untuk masuk ke dalam kamar mandi, dan seperti dulu, selalu ingin bercinta denganmu. Mungkin memaksamu bersandar di atas bath tub, sampai terdengar engah yang kasar. Erangan halus yang sangat khas betina.

Namun, karena saya seorang pengecut, tidak pernah sekalipun saya bergerak jauh saat di kamarmu. Paling-paling, seperti yang sudah, melirik DVD Lake House kesukaanmu, di rak kayu berpelitur, di samping salib nabimu yang wajahnya tampak sedih, lalu membaca sinopsis film yang surealis itu. Sekilas, sebab saya kurang sreg dengan si pemeran wanita, Sandra Bullock. Ia cocok bila memerankan wanita tough di Speed, tapi tidak untuk film2 drama romatis seperti Lake House. Raut wajah dan tipologi tubuhnya terlalu keras.

Sedang di dinding kamarmu, masih saja ada foto Jodie Foster, saat membintangi The Brave One, dengan rambut pirangnya yang tipis lurus-lurus. Saya tahu, si lines itu pujaanmu.

Ia seksi, bukan karena mengumbar tubuh bak biola, tapi karena matanya dan tarikan hidungnya yang simetris.

Atau melirik sedikit pada sketsa-sketsa yang kamu gariskan saat menulis, mereview, atau menterjemahkan buku-buku literatur tentang perdagangan perempuan atau kasus kekerasan terhadap kaummu.

Dengan membuat sketsa, aku jadi lebih memahami alur pikir penulisannya.

Ah, dasar pengguna otak kiri. Beda dengan saya yang lebih suka menggunakan otak kanan sebagai pegangan laku. Skestamu yang penuh gambar-gambar perspektif. Garis-garis yang tegas, saling-silang yang kuat. Wajar saja, kamu lulusan arsitektur.

Tahukan kalau Tuhan adalah seorang arsitek teragung?

Istilah itu berulang kali saya dengar. Ah, seorang arsitek agung. Kata seorang, yang kamu tidak mau hilangkan kalau menyebut Tuhanmu. Ia manusia, Ia Tuhan.

Arsitek adalah pencipta, perekayasa. Istilah yang membuatmu sangat menyukai dunia desain, walau pada akhirnya yang kamu desain terutama adalah desain sosial.

Aku merekayasa yang non fisik, sesuatu yang sifatnya lebih kimiawi. Orang bilang abstrak, tapi tidak, hanya tidak kelihatan. Aku mendesain pola pikir. Mendesain bagaimana sebaiknya orang-orang itu memahami bagaimana masyarakat kita ini telah salah persepsi mengenai gender dan hak asasi. Dipikir benar dengan menjatahkan 30% kuota parlemen untuk perempuan, membuat bus khusus perempuan, bahkan membentuk kementerian pemberdayaan wanita? Tidak. Itu sesat pikir. Konsep salah.

Saya yang lulusan filsafat, lebih percaya dan suka bahwa desain itu lebih baik dilaksakan pada sesuatu yang lebih konkret.

Memangnya kamu nabi, mau mendesain pola pikir orang? Justru, aku percaya, Tuhan ada dalam implementasi. Bukan konsep. Dengan menulis dan menerjemahkan buku, kamu hanyalah bergerak dalam tataran konsep. Teori…

Perdebatan tak selesai…

—————–

Leave a comment