Candi, di Bali?
Di antara suara gemercik aliran Tukad Pakerisan dan angin yang berhembus sepoi-sepoi, tampak di hadapan saya, dinaungi hijau pepohonan dan tanaman merambat, tepat di seberang timur sungai kecil itu, terpapar pahatan bebatuan di tebing gunung, yang melapuk dan menggelap.
Itulah Candi Gunung Kawi, satu-satunya candi di Pulau Dewata, Bali. Candi yang beda dengan candi-candi di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Rasa penasaran membawa saya ke situ awal Juni lalu.
Saya tak pernah tahu sebelumnya kalau terdapat candi di Pulau Bali. Bali yang terkenal dengan pantai pasir putih, pura keramat, gunung berapi, tradisi bakar mayat, puputan darah penghabisan, spa, ukiran dan lukisan, rupanya masih menyimpan pesonanya yang lain. Tersembunyi dan misterius. Atau jangan-jangan, selama ini saya justru yang memakai kacamata kuda ketika melihat pesona Bali?
Dari literatur yang pernah saya baca, candi utamanya dibuat untuk dua hal: beribadah murni dan atau sebagai tempat persemayaman plus pemujaan.
Candi-candi Budha kebanyakan digunakan untuk keperluan pertama, sedangkan candi Hindu untuk keperluan kedua. Candi Gunung Kawi sendiri yang merupakan candi Hindu, adalah candi tempat pemujaan (istilah arkeologis = candi pedharmaan) terhadap roh suci (dewa pitara) salah satu raja terbesar bali yakni Raja Udayana (989-1011 M) dan keturunannya yakni Raja Marakata dan Anak Wungsu. Maka tak heran, candi ini menyatu dengan pura yang masih satu kompleks sehingga sering juga dijuluki lengkap sebagai Candi Pura Gunung Kawi.
Dibelai angin, saya menuruni ratusan anak tangga semen sejauh kira-kira 250 meter. Terbentang sawah menguning siap panen sepanjang jalan. Pohon-pohon kelapa tua di pematang, dengan buah menggantung siap petik. Suara air dari Tukad Pakerisan. Dan selalu ada sesaji di mana-mana, di pinggir sawah, di sudut jembatan, di saluran irigasi, di sudut halaman rumah: penghormatan terhadap alam semesta. Eksotisme alam dan tradisi keagamaan Bali menyapa saya.
Sepanjang turunan, toko-toko souvenir sederhana menjual aneka kerajinan yang berwarna-warni. Di suatu sudut toko, saya lihat penjualnya sedang mengukir rambut di kepala Budha.
Tepat di ujung jalan sebelum memasuki candi, ada lorong dimana kita mesti memercikkan air di tempayan. Selain sebagai lambang ketenangan dan kesucian, di banyak kepercayaan air juga dianggap medium paling tepat sebagai penghantar ke alam spiritual. Ritual ini untuk memantaskan diri memasuki tempat sakral, membersihkan hati dan pikiran. Mirip dengan ketentuan yang saya temui di gerbang masuk, yakni kita mesti memakai kain seperti sarung untuk menutupi tubuh bagian bawah dan kaki, sebagai syarat kepantasan berada di situ.
Dua turis Jepang dengan patuh memerciki diri. Juga saling memotret dalam momen itu.
Melewati gerbang lalu memandang bangunan candi, saya sadar mengapa candi yang dibangun pada abad ke 11 Masehi oleh Raja Anak Wungsu (1019-1077) ini berbeda. Monumen atau bangunan candinya tidak ada. Yang ada adalah pahatan di tebing dengan bentuk punden berundak sebagai bentuk dasar candi. Jika umumnya candi dibentuk dari bebatuan lepas yang disusun, diukir, dipahat dan digabungkan membentuk bangunan, maka Candi Gunung Kawi dibentuk dari bebatuan yang melekat pada tebing. Candi Gunung Kawi adalah pahatan dinding batu.
Tukad Pakerisan yang tersambung ke Pura Tirta Empul membelah lanskap candi menjadi sisi barat dan timur. Selaras dengan konsepsi arkeologis bahwa umumnya candi dibuat dekat sumber air. Di sisi barat, berjejer 4 buah candi pemujaan bagi permaisuri-permaisuri raja. Sedang di sisi timur, ada 5 buah candi pemujaan bagi Raja Udayana dan kedua anaknya. Terdapat pancuran air yang dialirkan ke kolam penampungan yang berisi ikan dan dihiasi bunga teratai. Juga terdapat pura dan tempat pertapaan berupa lubang-lubang di dinding batu yang diselimuti lumut.
Berjalan di tengah-tengah kedua sisi itu, di tepian Tukad Pakerisan yang berbatu dan tak henti bergemericik, saya seakan-akan sedang memasuki portal waktu menuju keabadian masa lalu. Keabadian yang tenang, harmonis dengan rentang zaman selama seribu tahun ini.
Perasaan itu begitu saja hadir dengan kuatnya. Entah saya harus berterima kasih pada kurang terawatnya candi sehingga memunculkan aura masa silam dan energi spiritual yang kuat, atau malah prihatin melihat tidak terpeliharanya peninggalan seribu tahun yang meruapkan kejayaan Kerajaan Bali di masa silam.
Apalagi ketika datang satu keluarga Bali yang berpakaian adat dan pendeta Hindu yang hendak bersembahyang di pura (yang lagi-lagi seperti kurang terurus) di belakang candi bagian timur. Bayangan bahwa dahulu tempat ini penuh dengan anggota keluarga kerajaan yang bersila, bersimpuh dan berdoa bagi keabadian dan kedamaian roh suci raja-raja mereka, sambil melantunkan tembang-tembang pujian diantara harum dupa dan bunga, membuat imajinasi saya meluncur jauh. Andai saja ada mesin waktu, mungkin saat itu saya langsung pergi ke zaman itu, memuaskan petualangan imajiner saya.
Dan oh iya, saat melihat anak gadis keluarga itu, salahkah saya kalau sekali lagi bilang kalau gadis Bali yang berbusana adat itu sungguh eksotis?
Hanya kemunculan turis-turis bule yang menyadarkan saya bahwa tempat ini dalam kenyataannya lebih nyata sebagai portal turisme global daripada portal masa lalu yang abadi.
Sepasang kakek nenek Jerman, asyik memotret cucunya yang tidak pernah diam. Turis Inggris sibuk mendengarkan guide lokal yang bersemangat menjelaskan mitos candi ini. Turis lokal? Kebanyakan datang dengan kurang antusias, dan sekilas saya mendengar salah satu dari mereka bicara, “Bagusan Borobudur. Ayoo kita langsung cari makan di Ubud aja..”.
Turis-turis asing terus saja datang dan pergi. Kadang saya lihat tangan mereka, sambil memegang buku panduan wisata, menunjuk ke candi dengan ekspresi wajah terkesima. Mungkin sebelumnya, The Fall (2008), sebuah film petualangan spiritual yang ber-setting tempat-tempat memukau di seluruh dunia (22 lokasi) telah menuntun mereka ke Candi Gunung Kawi karena candi inilah satu satu dari lokasi pengambilan gambarnya. Mungkin bagi mereka bertatapan dengan jejak peradaban manusia masa lalu adalah bentuk ziarah batin tersendiri. Tetapi mungkin saja, kunjungan ke Candi Gunung Kawi ini hanyalah semata oase persinggahan sebentar sebelum menuju Istana Tampak Siring dan Pura Tirta Empul yang lebih populer bagi turis.
Dari menguping si guide, saya mendengar kisah Kebo Iwa sebagai sang maestro pendirian candi. Sosok ini bukan melulu sosok mitologi. Sejarah mengungkap kalau ia adalah punggawa dan ahli bangunan kerajaan yang bijak dan berilmu tinggi. Ia hidup pada awal abad ke-14 Masehi.
Karena kehebatannya, oleh Gadjah Mada ia dianggap penghalang dan perlu disingkirkan demi ambisi Majapahit mempersatukan Nusantara. Tapi, bukan pertikaiannya dengan Gadjah Mada yang membuat Kebo Iwa terkait dengan Candi Gunung Kawi. Dalam mitos, dikatakan bahwa Kebo Iwa-lah yang mengukir candi di tebing batu itu.
Ia mengukirnya tidak menggunakan alat apapun melainkan hanya dengan kuku tangannya! Dengan kuku-kukunya yang setajam mata pahat dan tenaganya yang sebesar raksasa, hanya dalam sehari semalam candi tersebut didirikan dengan megah. Ia mendirikan Candi Gunung Kawi untuk menunjukkan kesetiaannya terhadap sang raja.
Saya pribadi beranggapan bahwa mitologi itu punya makna tertentu. Terlepas dari periode hidup Kebo Iwa yang tidak sinkron dengan catatan sejarah pendirian candi yang diakui luas, tampak bahwa mitologi ini sekali lagi memperlihatkan kekaguman masyarakat sekitar akan bangunan tersebut (dan juga terhadap sang pemahat) yang lalu dipersepsikan telah dibangun oleh kekuatan di luar batas kemampuan manusia biasa.
Pohon beringin yang rindang meneduhkan siang yang terik itu. Selepas puas berkeliling, memang nyaman duduk dan beristirahat di batu-batu sungai di bawah pohon, memandangi candi di seberang sungai sambil mendengar suara gemericik air. Saya tahu telah tersihir aura keabadian Candi Gunung Kawi. Bali adalah pesona yang tak habis ditelan zaman.
Dimuat di Sriwijaya Inflight Magazine, September 2017