Aura Keabadian di Candi Gunung Kawi

Candi, di Bali?

Di antara suara gemercik aliran Tukad Pakerisan dan angin yang berhembus sepoi-sepoi, tampak di hadapan saya, dinaungi hijau pepohonan dan tanaman merambat, tepat di seberang timur sungai kecil itu, terpapar pahatan bebatuan di tebing gunung, yang melapuk dan menggelap.

 

Itulah Candi Gunung Kawi, satu-satunya candi di Pulau Dewata, Bali.  Candi yang beda dengan candi-candi di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Rasa penasaran membawa saya ke situ awal Juni lalu.

Saya tak pernah tahu sebelumnya kalau terdapat candi di Pulau Bali. Bali yang terkenal dengan pantai pasir putih, pura keramat, gunung berapi, tradisi bakar mayat, puputan darah penghabisan, spa, ukiran dan lukisan, rupanya masih menyimpan pesonanya yang lain. Tersembunyi dan misterius.  Atau jangan-jangan, selama ini saya justru yang memakai kacamata kuda ketika melihat pesona Bali?

Dari literatur yang pernah saya baca, candi utamanya dibuat untuk dua hal: beribadah murni dan atau sebagai tempat persemayaman plus pemujaan.

Sisi timur.jpg

Candi-candi Budha kebanyakan digunakan untuk keperluan pertama, sedangkan candi Hindu untuk keperluan kedua. Candi Gunung Kawi sendiri yang merupakan candi Hindu, adalah candi tempat pemujaan (istilah arkeologis = candi pedharmaan) terhadap roh suci (dewa pitara) salah satu raja terbesar bali yakni Raja Udayana (989-1011 M) dan keturunannya yakni Raja Marakata dan Anak Wungsu. Maka tak heran, candi ini menyatu dengan pura yang masih satu kompleks sehingga sering juga dijuluki lengkap sebagai Candi Pura Gunung Kawi.

Dibelai angin, saya menuruni ratusan anak tangga semen sejauh kira-kira 250 meter. Terbentang sawah menguning siap panen sepanjang jalan. Pohon-pohon kelapa tua di pematang, dengan buah menggantung siap petik. Suara air dari Tukad Pakerisan. Dan selalu ada sesaji di mana-mana, di pinggir sawah, di sudut jembatan, di saluran irigasi, di sudut halaman rumah: penghormatan terhadap alam semesta. Eksotisme alam dan tradisi keagamaan Bali menyapa saya.

Sepanjang turunan, toko-toko souvenir sederhana menjual aneka kerajinan yang berwarna-warni. Di suatu sudut toko, saya lihat penjualnya sedang mengukir rambut di kepala Budha.

Tepat di ujung jalan sebelum memasuki candi, ada lorong dimana kita mesti memercikkan air di tempayan. Selain sebagai lambang ketenangan dan kesucian, di banyak kepercayaan air juga dianggap medium paling tepat sebagai penghantar ke alam spiritual. Ritual ini untuk memantaskan diri memasuki tempat sakral, membersihkan hati dan pikiran. Mirip dengan ketentuan yang saya temui di gerbang masuk, yakni kita mesti memakai kain seperti sarung untuk menutupi tubuh bagian bawah dan kaki, sebagai syarat kepantasan berada di situ.

Dua turis Jepang dengan patuh memerciki diri. Juga saling memotret dalam momen itu.

Berpose.jpg

Melewati gerbang lalu memandang bangunan candi, saya sadar mengapa candi yang dibangun pada abad ke 11 Masehi oleh Raja Anak Wungsu (1019-1077) ini berbeda. Monumen atau bangunan candinya tidak ada. Yang ada adalah pahatan di tebing dengan bentuk punden berundak sebagai bentuk dasar candi. Jika umumnya candi dibentuk dari bebatuan lepas yang disusun, diukir, dipahat dan digabungkan membentuk bangunan, maka Candi Gunung Kawi dibentuk dari bebatuan yang melekat pada tebing.  Candi Gunung Kawi adalah pahatan dinding batu.

 

Tukad Pakerisan 2.jpgTukad Pakerisan yang tersambung ke Pura Tirta Empul membelah lanskap candi menjadi sisi barat dan timur.  Selaras dengan konsepsi arkeologis bahwa umumnya candi dibuat dekat sumber air. Di sisi barat, berjejer 4 buah candi pemujaan bagi permaisuri-permaisuri raja. Sedang di sisi timur, ada 5 buah candi pemujaan bagi Raja Udayana dan kedua anaknya. Terdapat pancuran air yang dialirkan ke kolam penampungan yang berisi ikan dan dihiasi bunga teratai. Juga terdapat pura dan tempat pertapaan berupa lubang-lubang di dinding batu yang diselimuti lumut.

Berjalan di tengah-tengah kedua sisi itu, di tepian Tukad Pakerisan yang berbatu dan tak henti bergemericik, saya seakan-akan sedang memasuki portal waktu menuju keabadian masa lalu. Keabadian yang tenang, harmonis dengan rentang zaman selama seribu tahun ini.

Perasaan itu begitu saja hadir dengan kuatnya. Entah saya harus berterima kasih pada kurang terawatnya candi sehingga memunculkan aura masa silam dan energi spiritual yang kuat, atau malah prihatin melihat tidak terpeliharanya peninggalan seribu tahun yang meruapkan kejayaan Kerajaan Bali di masa silam.

Apalagi ketika datang satu keluarga Bali yang berpakaian adat dan pendeta Hindu yang hendak bersembahyang di pura (yang lagi-lagi seperti kurang terurus) di belakang candi bagian timur. Bayangan bahwa dahulu tempat ini penuh dengan anggota keluarga kerajaan yang bersila, bersimpuh dan berdoa bagi keabadian dan kedamaian roh suci raja-raja mereka, sambil melantunkan tembang-tembang pujian diantara harum dupa dan bunga, membuat imajinasi saya meluncur jauh. Andai saja ada mesin waktu, mungkin saat itu saya langsung pergi ke zaman itu, memuaskan petualangan imajiner saya.

Menuju candi 2.jpgDan oh iya, saat melihat anak gadis keluarga itu, salahkah saya kalau sekali lagi bilang kalau gadis Bali yang berbusana adat itu sungguh eksotis?

Hanya kemunculan turis-turis bule yang menyadarkan saya bahwa tempat ini dalam kenyataannya lebih nyata sebagai portal turisme global daripada portal masa lalu yang abadi.

Sepasang kakek nenek Jerman, asyik memotret cucunya yang tidak pernah diam. Turis Inggris sibuk mendengarkan guide lokal yang bersemangat menjelaskan mitos candi ini. Turis lokal? Kebanyakan datang dengan kurang antusias, dan sekilas saya mendengar salah satu dari mereka bicara, “Bagusan Borobudur. Ayoo kita langsung cari makan di Ubud aja..”.

Turis-turis asing terus saja datang dan pergi. Kadang saya lihat tangan mereka, sambil memegang buku panduan wisata, menunjuk ke candi dengan ekspresi wajah terkesima. Mungkin sebelumnya, The Fall (2008), sebuah film petualangan spiritual yang ber-setting tempat-tempat memukau di seluruh dunia (22 lokasi) telah menuntun mereka ke Candi Gunung Kawi karena candi inilah satu satu dari lokasi pengambilan gambarnya. Mungkin bagi mereka bertatapan dengan jejak peradaban manusia masa lalu adalah bentuk ziarah batin tersendiri. Tetapi mungkin saja, kunjungan ke Candi Gunung Kawi ini hanyalah semata oase persinggahan sebentar sebelum menuju Istana Tampak Siring dan Pura Tirta Empul yang lebih populer bagi turis.

Dari menguping si guide, saya mendengar kisah Kebo Iwa sebagai sang maestro pendirian candi. Sosok ini bukan melulu sosok mitologi. Sejarah mengungkap kalau ia adalah punggawa dan ahli bangunan kerajaan yang bijak dan berilmu tinggi. Ia hidup pada awal abad ke-14 Masehi.

Karena kehebatannya, oleh Gadjah Mada ia dianggap penghalang dan perlu disingkirkan demi ambisi Majapahit mempersatukan Nusantara. Tapi, bukan pertikaiannya dengan Gadjah Mada yang membuat Kebo Iwa terkait dengan Candi Gunung Kawi. Dalam mitos, dikatakan bahwa Kebo Iwa-lah yang mengukir candi di tebing batu itu.

Ia mengukirnya tidak menggunakan alat apapun melainkan hanya dengan kuku tangannya! Dengan kuku-kukunya yang setajam mata pahat dan tenaganya yang sebesar raksasa, hanya dalam sehari semalam candi tersebut didirikan dengan megah. Ia mendirikan Candi Gunung Kawi untuk menunjukkan kesetiaannya terhadap sang raja.

Saya pribadi beranggapan bahwa mitologi itu punya makna tertentu. Terlepas dari periode hidup Kebo Iwa yang tidak sinkron dengan catatan sejarah pendirian candi yang diakui luas, tampak bahwa mitologi ini sekali lagi memperlihatkan kekaguman masyarakat sekitar akan bangunan tersebut (dan juga terhadap sang pemahat) yang lalu dipersepsikan telah dibangun oleh kekuatan di luar batas kemampuan manusia biasa.

Pohon beringin yang rindang meneduhkan siang yang terik itu. Selepas puas berkeliling, memang nyaman duduk dan beristirahat di batu-batu sungai di bawah pohon, memandangi candi di seberang sungai sambil mendengar suara gemericik air. Saya tahu telah tersihir aura keabadian Candi Gunung Kawi. Bali adalah pesona yang tak habis ditelan zaman.

Dimuat di Sriwijaya Inflight Magazine, September 2017

 

Valencia, kota turis “segala ada”

Saya dan beberapa teman dari Castellon datang ke Valencia pada pertengahan Maret untuk membuktikan hal konyol. Bahwa di Bulan Maret, Valencia adalah kota segala ada di Spanyol bagi turis. Sungguh, saya cukup skeptis bahwa ada sebuah kota seperti itu. Banyak yang bilang, Valencia, kota ketiga terbesar di Spanyol, bisa memberi pelancong multi kenikmatan dalam kunjungannya.

Selepas satu jam perjalanan yang ditaburi pemandangan kebun Naranja (jeruk oranye) yang maha luas di kiri kanan kereta, sampailah saya pada bangunan stasiun kereta api yang indah, Estacio del Nord. Selain arsitektur menawan, lokasinya pas di jantung kota tua Valencia. Rasanya di Eropa ini, paling tidak ada satu diantara empat bangunan yang selalu tak biasa dan menimbulkan kekaguman dari segi arsitekturnya: City Hall, Kantor Pos, Gereja, atau Stasiun Kereta.

Bulan Maret adalah musim bergembira di sepanjang pesisir timur. Udara nyaman, cuaca tak panas namun cerah karena hujan kurang, juga awal musim tanam. Juga  musim corrida de torros (adu banteng) untuk Spring Season dan musim festival jalanan.

Mumpung belum begitu panas, kami putuskan menuju Playa de Patacona, pantai-nya Valencia, yang terletak agak di utara kota. Menaiki bus jalur 19 dari halte dekat stasiun. Hamparan pasir kecoklatan, memanjang sejauh pandangan. Hanya tampak pohon-pohon perdu kecil. Tak ada pohon kelapa. Ini bukan pantai tropis yang romantis dengan es kelapa muda yang segar.

Walau bukan pantai yang paling sering didatangi turis, seperti halnya Malva Rosa, Patacona tetap mempesona dengan warna langitnya yang membiru. Bagi pencari ketenangan, apa yang diberikannya sungguh merupakan harmoni keheningan pasir lembut dan syahdunya pantai Mediterania. Bagi yang hobi berenang, saat musim semi begini masih belum boleh. Tunggu nanti saat musim panas bulan Juli    atau Agustus. Jadilah kami hanya lari-larian, berfoto lompat-lompatan, lalu duduk-duduk di kafe, menikmati segelas bir dingin dan kacang. Agak aneh memang, minum bir pagi-pagi.

Puas di pantai, kami kembali ke dalam kota.  Kali ini menyusuri taman hijau di tepian Sungai Turia yang dikatakan sebagai taman terbesar di Spanyol. Seperti Sungai Thames di Inggris dan Rhein di Jerman, Sungai Turia membelah Valencia menjadi dua belahan kota. Pengunjung bisa menyewa sepeda untuk menyusuri pinggir Sungai Turia menuju salah satu penanda kota yang lain, yakni kompleks City of Arts and Sciences.

Seorang arsitek pasti akan suka dengan bangunan futuristik seperti ini, mengingatkan pada bangunan monumental lain seperti Sidney Opera House ataupun Bird Nest Stadium Beijing. Hanya saja, dengan enam bangunan berbeda, kompleks itu menawarkan beragam hal: museum seni rupa dan patung, koleksi tanaman endemik Valencia, L’ oceanographic yang berisi hewan-hewan hidup laut (sejenis Sea World), Reina Sofia yang berfungsi sebagai tempat pertunjukan opera dan teater, serta L’ agora yang berfungsi sebagai ruang pameran, seminar dan sport venue.

Tak terasa, sekitar satu jam perjalanan menyusuri Sungai Turia, selepas tengah hari, kami telah sampai lagi di Estadio de Nord. Gelanggang adu banteng, Plaza de toros Valencia, terletak di samping stasiun itu. Poster bertebaran di tembok gelanggang yang menjulang tinggi. Salah satunya bertulisakan:  “Plaza de toros de Valencia! – Extraordinaria Corrida!”.

Manzanares, sang matador yang saat itu menjadi idola, berdiri tegak. Pedang tusuk di tangannya terhunus, matanya menyipit membidik sang banteng. Harga tiket berkisar 9 – 120 euro, tergantung posisi duduk dan arah matahari. Saya tidak tertarik karena sudah pernah menonton corrida di Castellon beberapa hari yang lalu, dan rasanya, sekali sudah lebih dari cukup.

Festival di Valencia dinamai Las Fallas, dipusatkan di Plaza de la Reina di pusat kota tua. Fallas merupakan festival tradisional memperingati Santo Joseph sang pelindung kota. Biasanya berlangsung selama dua minggu. Festival ini telah dijadikan Situs Warisan Dunia Tak Benda sejak tahun 2016 oleh UNESCO. Untuk menyemarakkan pesta, tiap komunitas lokal (casal faller) dari kota sekitar seperti Sagunt, Alacant dan Teruel, berkontribusi menyajikan kuliner masing-masing (umumnya tapas dan paella) dan membikin boneka karakter yang disebut ninots. Tapas adalah kudapan kecil yang terbuat dari bahan makanan laut, sedang paella merupakan sejenis nasi uduk berbahan kunyit dan hasil laut (udang, cumi, ikan, kerang, dan sebagainya).

Tak jauh dari stasiun saya disambut puluhan ninots. Mirip ogoh-ogoh yang ramai dibuat menjelang Nyepi di Bali. Tapi bentuknya tak melulu raksasa, banyak juga yang kecil. Tidak juga melulu dibikin seram. Ninots dibuat sangat ekspresif, dan atraktif dengan warna-warna cerah. Diletakkan di sudut-sudut jalan, persimpangan atau di tengah taman. Anak-anak asyik berfoto dengan latar karakter yang mereka suka, seperti Bart Simpsons, Mickey Mouse atau Putri Salju. Sementara remajanya lebih memilih Popeye, Bajak Laut atau penari kelab malam.

Sayangnya, pada akhir Fallas, semua ninots yang indah itu akan dibakar, menjadikan kawasan kota tua  lautan api. Pearl de la Cruz, teman sekelas saya dari Filipina berujar,”Bisa kita minta nggak ya ninots yang kecil, ‘kan seru buat dipajang di flat”. Kami tidak berkomentar apa-apa. Ia lalu nyengir sendiri, menyadari bahwa hal itu tak mungkin.

Puas menikmati jalanan yang dipenuhi ninots, kami lalu menyusuri Carrer de Sant Vincent Martir menuju ke situs warisan dunia yang lain, La Lonja de La Seda. Berdiri sejak abad ke-15, bangunan berciri Gothic ini dulunya merupakan pusat perdagangan sutra dan komoditas lain di sepanjang pesisir Mediteraia. Langit-langitnya ditopang pilar-pilar melingkar yang diukir dengan halus, mengisyaratkan tradisi perdagangan maritim yang egaliter di abad-abad sebelumnya. Rasanya tiap rombongan turis pasti ke sini. Yang paling ramai turis dari Tiongkok, selalu berfoto di sudut manapun berada. Sedang turis Jepang, selalu paling teratur dalam atrian. Sang pemimpin rombongan membawa bendera yang diikat di tongkat kecil.

“Ayo, ke sebelah sini Bapak dan Ibu, saya akan terangkan, ketika arus perdagangan dengan Asia melonjak, Valencia kembali menegaskan posisinya sebagai pusat…”, sayup-sayup terdengar suara pemandu dalam bahasa Indonesia. Rupanya, rombongan turis dari Indonesia ada juga, pria dan wanita paruh baya yang necis pakaiannya.

Pearl, yang seorang Katolik taat, punya misi khusus ke Valencia. Ia sangat ingin melihat Holy Grail, atau cawan suci yang dipakai oleh Yesus saat perjamuan terakhir Kamis Putih bersama para rasulnya. Cawan tersebut disimpan di Katedral Santa Maria Valencia, tak jauh dari City Hall. Katedral ini telah berdiri sejak abad ke-13.

Legenda mengatakan bahwa Cawan Suci itu dibawa langsung dari Roma jauh sebelum Perang Salib, disembunyikan saat ekspansi dan kekuasaan Bangsa Moor dari Maroko oleh bangsawan lokal, dan baru kembali ke Valencia pada tahun 1427 atas perlindungan Raja Alfonso.

Konon, walau banyak klaim serupa dari belahan Eropa lain, beberapa ahli mengatakan bahwa inilah yang bisa dianggap memiliki kemungkinan terbesar sebagai cawan yang asli. Dari telaah manuskrip kuno dan perkiraan usia karbon diperkirakan cawan itu dibuat pada kisaran abad ke-4 sebelum Masehi sampai abad ke-1 sesudah Masehi. Tak heran, beberapa situs wisata lokal mulai memasang tagline bahwa Valencia adalah “City of Holy Grail”. Bahkan cawan itu pernah dipakai Paus Benediktus XVI untuk mempersembahkan ekaristi dalam suatu perjamuan misa pada Bulan Juli 2006.

Saat tiba sana, tampaklah katedral yang dibuka untuk umum. Katedral yang merupakan bekas masjid Bangsa Moor itu berornamen campuran Gothic dan beberapa aliran lain. Selain melihat relikui-relikui yang disimpan, kita dapat naik ke menaranya serta melihat ke sekeliling kota. Pearl sungguh antusias, beda dengan saya yang biasa saja soal beginian. Saya lihat ia berlutut, berdoa di depan altar.

Saya tidak tahu ia berdoa apa. Tapi saya harap ia berdoa agar cuaca tetap cerah sampai kami puas di Valencia dan kembali ke Castellon. Sagunt, desa kecil yang eksotis bekas reruntuhan Bangsa Moor di antara Valencia dan Castellon telah menanti untuk dijelajahi. Kami memilih hiking ke sana daripada menunggu Mascleta, festival kembang api yang diadakan tiap sore di halaman City Hall. Ketika semua ada di Valencia, tetap saja kami mesti memilih.

***

Dimuat di Majalah Travelounge Edisi Juli 2017

 

 

 

Petualangan kecil di Alpen

Bagi seseorang dari negeri tropis, pemandangan kota-kota yang dikelilingi gunung bersalju ibarat destinasi liburan impian. Jika Anda termasuk salah satu yang mendambakan hal itu, datanglah ke Innsbruck, Austria, kota yang dijuluki ibukota Pegunungan Alpen.

Terletak di lembah Inn, kota ini dikelingi gugusan gunung berselimut salju abadi. Di sebelah utaranya Gunung Nordkette (2.246 m), di selatannya ada Gunung Patscherkofel (2.246 m) dan Serles (2.718 m). Di antara gugusan gunungnya mengalir Sungai Inn yang membelah kota seluas 104,91 km persegi itu, memisahkan kota dengan Nordkette. Mungkin karena itu, nama Innsbruck diambil dari nama sungai dan Brucke (bahasa Jerman, berarti jembatan). Innsbruck, kota yang menjadi jembatan Sungai Inn.

Pada awal April udara sudah mulai menghangat. Namun, pagi di terminal bus Innsbruck masih terlalu dingin selepas perjalalan dua jam dari Munich menggunakan bus antarkota Flixbus. Perjalanan yang tak membosankan. Pucuk-pucuk gunung bersalju, pemandangan permai pedesaan di kaki gunung, melewati kota-kota kecil seperti Mittenwald dan Garmisch Partenkirchen yang legendaris dengan lanskap salju musim dinginnya.

Apa tujuan saya ke Innsbruck? Kali ini bukan hanya meng-eksplore kota yang kabarnya telah dihuni sejak zaman prasejarah di awal Stone Age, tapi juga hiking di kaki Pegunungan Alpen. Tidak. Jangan bayangkan hiking profesional dengan peralatan lengkap. Ini hanya petualangan kecil menelusuri rute menarik dan penuh pemandangan indah.

Mengingat terbatasnya waktu, saya memilih ke Nordkette yang di lamannya disebut sebagai Jewel of the Alps dengan Nordkettenbahn (kereta luncur menuju Nordkette). Barulah setelah itu menuruni lerengnya, melewati desa-desa kecil, Alpenzoo (kebun binatang Alpen), dan terakhir menyusuri Sungai Inn di mata kakinya.

Sudah masuk musim semi, sebagian salju telah mencair, dan kaki-kaki gunung telah kembali hijau kecoklatan. Ini menunjukkan dedaunan telah kembali tumbuh setelah musim dingin. Namun salju masih membentang dengan luasnya di area puncak Alpen. Tak heran, walau musim dingin sudah lewat, bagi penggemar olahraga salju, Innsbruck menawarkan tempat berolahraga yang tetap nyaman.  Sejak dari Hungerburgbahn di area Congress, stasiun pertama untuk naik ke Nordkette, sudah banyak orang yang membawa peralatan skiing dan snowboarding. Termasuk anak-anak kecil yang dengan ributnya berceloteh apa saja.

Tiket pp-nya 33 euro sampe ke Hafelekarspitze, yang merupakan puncak tertinggi Nordkette. Kereta ternyata hanya sampe di Hungerburg, tempat perhentian pertama untuk aktivitas skiing dan snowboarding. Jika ingin melanjutkan ke Hafelekar, mesti naik kereta gantung lagi.

Saya putuskan untuk turun dulu di Hungerburg karena di sini ada cafe legendaris, Alpenlounge Seegrube & Hafelekar Restaurant. Sambil menyeruput secangkir coklat panas saya duduk di kursi bersandar santai, tepat di pinggir tebing. Memanjakan lidah di ketinggian 1.900 m sambil memandang gugusan puncak-puncak bersalju, dipadu langit abu-abu, serta warna-warni jaket para penikmat olahraga salju yang meluncur menuruni salju di sisi gunung sungguh pengalaman tak biasa. Mereka hilir mudik di sekitar café, sambil menenteng sepatu ski atau snowboard yang kebanyakan disewa dari tempat persewaan peralatan di sebelah café.

Puas di Seegrube, saya putuskan melanjutkan perjalanan. Kali ini menggunakan kereta gantung sampai Station Hafelekar, dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 20 menit untuk menggapai puncaknya. Tidak jauh dari stasiun, terpasang peringatan kalo area ini adalah akhir zona aman. Pengunjung wajib waspada akan bahaya avalanche (salju longsor) tiba-tiba. Saat tiba di puncak, ada salib kecil yang jadi ikon Hafelekarspietze. Pemandangan dari sini? Menakjubkan!

Tapi, ketinggian di atas 2.200-an meter berangin kencang bukanlah tempat yang nyaman berlama-lama. Hanya sekitar 15 menit, saya sudah menggigil. Karena angin dan hujan yang tiba-tiba turun.

Bergegas saya turun menuju stasiun, langsung menuju Innsbrucker Norkettenbahnen yang menjadi awal rute jalan kaki menuruni gunung. Dari Hermann Buhl Platz, yang beroleh nama dari seorang pendaki kenamaan Innsbruck dan penggagas konservasi Alpen Austria, kota Innsbruck terhampar dengan jelas. Sungai Inn meliuk-liuk, bersilang dengan jalan dan jembatan yang membentuk kota. Padang rumput hijau dan taman-taman kota, Goldenroof and City Tower, serta menara gereja di kawasan Altstadt tampak harmonis berpadu dengan deretan pegunungan di selatan Innsbruck.

Dengan bersemangat saya menyusuri jalan tanah berbatu. Berliku-liku menuruni jurang menuju dataran rendah. Namun jalannya sudah dibikin nyaman. Di pinggir jurang, pepohonan berjejer, seakan memagari jalan.

Ketika sampai di suatu persimpangan, saya beristirahat sambil duduk di kursi. Tak lama, datang satu rombongan. Mereka membawa bayi yang digendong di depan. Saat melintas di depan saya, salah satunya tiba-tiba menyapa dan bertanya dalam bahasa Jerman. Walau tidak begitu mengerti, nampaknya ia bertanya dimana letak Alpenzoo. Saya sebenarnya juga belum tahu arahnya, namun karena ingat bahwa di GPS arahnya ke kanan, maka dengan sok yakin saya sarankan ia ke sana. Semoga mereka tidak nyasar.

Tak lama, melintas sepeda yang ditunggangi pria paruh baya. Saya berpikir, kuat juga ini orang bersepeda di perbukitan. Jangan-jangan habis ini nenek-nenek yang lewat. Eh, beneran. Tak lama lewatlah dua orang nenek-nenek yang melangkah dengan walau sedikit terengah, tampak bersemangat sekali.

Di perjalanan, sering saya temui taman-taman bunga di dekat gazebo yang berdiri tepat di pinggir jurang. Dedaunan muda yang kehijauan segar mulai mengisi ranting dan cabang pepohonan sehabis merangggas di musim dingin. Juga ada rumah-rumah peristirahatan yang tampak kokoh.

Tidak jauh dari situ, terdapat Alpenzoo yang khusus berisi flora dan fauna khas gugusan Alpen. Terdapat sekitar 20 jenis mamalia ada di sana dari total 80 jenis yang menghuni Alpen, 60 jenis burung, 11 reptil dan hampir semua ikan yang hidup di Alpen. Beberapa hewan yang menjadi ikon seperti bison Eropa, Alpine Ibex, beruang, lynx, dan elang emas menjadi koleksi andalannya. Tiket masuk hanya 10 euro untuk dewasa. Walau ingin masuk, saya putuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Kira-kira setengah jam kemudian, sampailah saya di tepian Sungai Inn. Salah satu ikon fotografis Innsbruck yang banyak dijadikan lokasi berfoto para pelancong ada di sini: rumah warna-warni di perbukitan dengan latar depan Sungai Inn dan latar belakang Pegunungan Alpen bersalju putih di puncaknya.

Saya menikmati suasana dengan segenap perasaan di promenade Sungai Inn ini. Saya buka bekal burger yang dibeli di Seegrube. Badan yang segar sehabis hiking kecil, pikiran yang damai, dan perut yang telah terisi. Itu membuat lupa kalau waktu sudah hampir habis dan jadwal bis balik ke Munich sudah semakin dekat. Ibarat Innsbruck yang sudah lupa akan sisa-sisa pengeboman hebat saat Perang Dunia II dulu. Benarlah kutipan kata-kata Erhard A. Bellerman, seorang penyair Jerman yang saya lihat di Seegrube, saat ia mendeskripsikan Innsbruck:

Das Tal der Sorgen ist umgeben von Bergen des Gluecks

“Lembah penderitaan itu sesungguhnya dikelilingi oleh gunung-gunung kebahagiaan”

 

Dimuat di Majalah Travelounge, Desember 2016

Ada becak di Altstadt Muenchen

Saya pernah bertanya kepada teman Indonesia kelahiran Jerman yang saat ini menjadi pastor di Fulda, kota kecil di wilayah Hesse. “Kota apa sih yang paling ‘lebih’ di Jerman?” Ia menjawab, tentu saja Muenchen. Kota yang terletak di Bavaria ini punya segalanya. Wilayahnya paling luas dan paling kaya. Pemandangan Alpen dan wisata saljunya kelas dunia. Muenchen juga punya klub sepakbola tersukses di Jerman. Pusatnya teknologi dan ekonomi, universitas-universitas terbaik juga ada di sini.

Sapaan Guten Tag, yang berarti selamat siang, diganti jadi “Gruess Gott”. “Guten Tag tidak laku. Jadi, kalau kamu menyapa seseorang dengan Guten Tag di toko, siap-siap dapat pandangan aneh”.

Kok bisa?

Si Pastor tertawa, “Karena orang Bavaria itu tidak mau disamain. Mereka selalu ingin lebih dari yang lain. Mereka menganggap bukan Jerman yang membentuk Bavaria, tapi Bavaria-lah yang membentuk Jerman”. Saya membayangkan seragam sepakbola tim nasional Jerman yang sangat mirip dengan seragam klub Bayern Muenchen.

Ingatan akan percakapan itu selalu terbawa sampai kemudian saya bisa datang ke Muenchen untuk suatu acara dari kampus pada awal April kemarin. Saya tidak ingin membuktikan kebenaran jawaban Si Pastor karena mustahil tahu tentang zeitgeist, semangat zaman orang-orang Bavaria dalam beberapa hari di sini.  Yang saya ingin tahu sederhana saja: indahkah Bavaria di awal musim semi kali ini? Ini bukan Bulan Oktober, jadi Oktoberfest, pesta bir terbesar di dunia yang jadi magnet utama Muenchen bisa dikesampingkan.

Di pagi buta, saya sudah keluyuran di Marienplatz, kawasan Aldstat (kota tua)-nya Jerman. Lokasinya hanya sekitar 700 meter dari Hotel Maritim tempat saya menginap. Entah sejak kapan, saya mulai suka mengenali sebuah kota dengan keluyuran di pagi hari ketika kota tersebut masih sepi dan sebagian besar penghuninya masih belum beraktivitas.

Dingin yang masih tersisa tak menghalangi langkah prosesi personal dalam menikmati kota belum bangun. Lampu-lampu teras masih menyala. Kursi-kursi kafe pinggir jalan masih terbalik. Saat tiba di tujuan, saya terpaku pada bangunan berumur hampir 200 tahun, Neues Rathaus yang bergaya Flanders Gothic (gaya arsitektur gothic yang dipengaruhi Belanda). Dengan tinggi sekitar 100 meter dan atap-atap runcing, bangunan city hall itu tampak anggun mengalahkan zaman.

Tapi bukan itu yang jadi daya tariknya, melainkan Glockenspiel, menara lonceng yang diisi 32 miniatur. Tiap jam sebelas siang, 32 patung itu akan begerak menampilkan kisah tentang pernikahan seorang pangeran Bavaria, Duke Wilhem V dan Putri Renata dari Lorraine Perancis yang disambut gembira seluruh rakyat dengan berpesta. Namun, tak lama terjadi wabah penyakit, menyebar dengan ganas ke seluruh pelosok wilayah. Seorang pintar kemudian berkata bahwa hanya satu syaratnya: jangan tunjukkan kesedihan dan ketakutan, melainkan kesetiaan pada sang pangeran dengan menari di jalan-jalan pusat kota. Maka rakyat pun menari yang dipimpin oleh para pembuat kerajinan dari tembaga. Dan wabah itu hilang dengan sendirinya. Semua bersuka cita dan berpesta.

Pertunjukan berlangsung antara 10-15 menit. Tiga burung emas akan muncul di setiap akhir cerita dengan cuitan khasnya. Biasanya, momen inilah yang dijual oleh agen perjalanan atau guide lokal untuk memulai tur keliling kota. Mungkin itu mengapa orang Bavaria gemar berpesta ramai-ramai. Selain dengan guide jalan kaki, kita juga bisa mendapat guide dengan ikut Bus City Tour. Naik dari pool-nya yang terletak hanya 50 meter dari Haupbahnhof Muenchen.

Saya bertekad hendak minum kopi di Glockenspiel Caffe yang legendaris, cuma kayaknya kepagian. Andai saja saya bertahan sampe jam 11. Tapi siapa yang bisa menahan langkah untuk tidak terus jalan ke lain tempat, yang juga sama menariknya? Kawasan kota tua ini penuh dengan bangunan berumur ratusan tahun , seperti Old City Hall, yang terletak kurang dari 100 meter dari New City Hall. Serta Gereja St. Peter dimana pengunjung dapat menaiki 306 anak tangga tower-nya dengan bayar 1,5 euro buat melihat pertunjukan Glockenspiel. Kata sebuah blog yang saya baca, view-nya luar biasa. Juga ada Frauenkirche, Katedral Bunda Terkasih, yang terkenal dengan dua tower hijau bundarnya.

Di sekitar Altstadt banyak pub, bar dan restoran, dan bir adalah minuman yang tidak pernah ketinggalan. Bagi penikmat bir, pasti tahu Hofbraeuhaus yang terletak di Am Platz 9. Berdiri sejak 1589, inilah beer hall yang paling tua dan legendaris di antero Bavaria. Dimiliki oleh Duke Wilhems dan keluarganya secara turun temurun. Tong-tong bir dan wine telah siap di depan pintu, pelayan sudah mulai membersihkan meja-meja. Mereka tampak bersemangat dan antusias menyambut hari.

Beberapa pub umurnya sudah puluhan atau ratusan tahun. Ada plang yang menunjukkan usianya. Mereka kadang mengklaim sebagai bir nomor satu di Bavaria, padahal sebagai “ibukota bir”, Bavaria punya sekitar 40 tipe bir dengan 4000-an merk. Slogan main-main, save water by drinking more beer benar-benar berwujud di sini.

Perjalanan berlanjut ke Viktualienmarkt, masih bagian dari Altstadt, pasar makanan yang telah menjadi tradisi sejak abad ke-19. Hampir semua laman internet yang saya baca mencantumkan lokasi ini sebagai must-visit place saat di Muenchen. Penasaran saya, terbayang puluhan menu masakan lokal yang siap memanjakan lidah. Bayangan saya seperti open street food court, dimana makanan berjejer di tenda-tenda. Namun tenyata, bukan itu yang ada dihadapan saya pagi itu. Yang ada adalah aneka bahan makanan mentah seperti bumbu, bawang, sosis, daging, telur, sayur dan buah tradisional yang berasal dari daerah sekitar Bavaria. Ini sih pasar bahan makanan, bukan pasar makanan, kata saya bergumam.

Iseng saya bertanya ke salah satu penjualnya, apakah ada yang jual makanan siap santap? Bapaknya tampak heran, tapi terus bilang, kalau itu nanti. Sekarang belum buka. Datang lagi saja. Ah, sayang sekali, padahal saya sudah ngiler untuk makan di booth Schlemmermeyer yang menyajikan, katanya, sosis panggang terenak di Muenchen. Dan lalu beli kue di Die Schmalznudel buat bekal keliling kota. Lalu bapaknya bilang, orang Muenchen sejati itu, makan pertama jam 11 siang, menunya weisswurst (sosis putih), mustar manis, roti bretzel dan segelas besar bir.

Langkah saya teruskan ke River Isar, sungai kecil yang membelah kota. Memisahkan Muenchen barat dan timur. Di keheningan pagi, air sungai mengalir tenang dari utara ke selatan. Pantulan gedung tampak jelas di air sungai. Tidak ada sampah sedikit pun. Banyak pulau-pulau kecil di tengah sungai. Saya berjalan menyusuri promenade yang sepi, hanya ada beberapa orang berlari pagi atau bersepeda. Dari jembatan kecilnya, puncak-puncak runcing gereja atau bangunan tua menghiasi pinggir sungai. Begitu sendu, beda dengan hiruk pikuk Muenchen yang biasanya saat hari mulai beranjak siang. Pagi hari, inilah sisi lain Muenchen.

 

Di tepi River Isar, ada Deutsche Museum yang dapat dimasuki dengan membayar 11 euro buat dewasa dan 4 euro bagi anak-anak. Kata situsnya, ini museum terbesar di dunia untuk sains dan teknologi. Beragam koleksi dimilikinya, dari yang klasik sampai futuristik. Dari perkusi kuno sampai teknologi nano. Bagi anak-anak, tersedia koleksi permainan berbasis teknologi seperti ayunan dan katrol berat.

Lalu, tiba di Odeonplatz, di sisi utara Merienplatz. Di situ saya melihat becak! Iya becak turis kayak di Indonesia. Ada rombongan, mungkin dari Amerika, yang sedang dipandu oleh guide lokal bebahasa Inggris. Beberapa becak telah nangkring dengan drivernya yang masih muda-muda. Wah, tak beda dengan di Indonesia, becak sebagai kendaraan bebas polusi, juga dipakai dalam industri turisme. Entah apa sebutan becak dalam bahasa Jerman. Para penumpangnya diberi selimut untuk menahan angin dingin.

Di Maximillian Strasse, di dekat patung Raja Maximillian II, di tembok pagar ada tulisan well, I guess…some journeys begin when you arrive.  Entah siapa yang menulisnya. Rasanya betul juga, sebab perjalanan saya masih panjang di Bavaria ini. Sore nanti sehabis pertemuan, saya akan ke Schloss Nymphenburg, istana musim panas bangsawan Bavaria, yang usianya kini sudah 350 tahun dan tamannya yang sangat luas, yang jadi favorit untuk jogging atau bersepeda. Di sana ada kanal, yang dibangun karena obsesi sang pangeran pada Venice, Italy.

Setelah itu saya akan terus ke selatan, ke Mittenwald, sebuah kota perbatasan Jerman yang sangat terkenal dengan view kota tradisional Bavaria dengan latar salju di gunung-gunung. Lalu Innsbruck, Tyroll di Austria untuk menjejakkan kaki di puncak Pegunungan Alpen.

Dimuat di Majalah Travelounge edisi Juni 2016

Kota di Alpen

Saat akhirnya kau jejaki Puncak Alpen, apa yang ada dalam pikiranmu?

DSC_1961

Suatu senja di tepi Rhine

di tepi rhine

Tahukah teman, kadang bukan usia yang bikin kita busuk pelan-pelan. Tapi kesunyian.  Ia duduk, sendiri, memandangi Rhine yang berkilau ditempa matahari sore. Mungkinkah ia sedang merenung, mengingat banyak hal yang indah, atau tanpa berpikir, hanya menikmati cahaya?

Kotak sampah oranye itu juga kosong.

Oma Anna

Saya menulis ini untuk mengenang seorang Tante Anna.

Telah dua minggu ia tinggal di rumah kami di Bogor. Sebelumnya hampir setahun ia pulang kampung ke Tomohon dan Manado. Ada rumahnya di Bogor, hanya beberapa rumah di sebelah kanan rumah kami. Namun karena tak terurus, perlahan rumah itu hancur. Tiap kali hujan deras, atap yang bocor makin besar dan masuknya air merusak semuanya. Maka, ketika datang kembali ke Bogor, Tante Anna tinggal di rumah kami.

Suaminya telah meninggal belasan tahun lalu. Mereka tidak dianugerahi anak, mungkin karena menikah tua. Kami hanya tahu namanya, Om Frans.

Sebelum pulang Tomohon, di usianya yang kepala enam ini, ia tinggal sendiri semenjak ditinggal suaminya. Kami tahu, memang pernah ada saudaranya, keponakan, dan istri dari keponakan yang lain, tinggal di situ. Tapi selalu tak pernah lama, entah kenapa, mungkin Tante tidak cocok, atau mereka tidak cocok dengannya.

Padahal tangan kiri Tante sudah tidak maksimal berfungsi sejak ia terkena penyumbatan pembuluh darah dan diopname di Jakarta selama sekitar tiga minggu. Pergelangan tangannya bengkok ke kiri dan beberapa jarinya kaku susah digerakkan. Ia tidak bisa menggenggam lagi, atau membawa barang berat dengan tangan itu.

Bagi kami, walaupun sedikit cerewet, Tante Anna seorang yang punya tempat khusus di hati kami. Setidaknya Tante rajin mengajak kami bareng ke gereja di hari Minggu, atau ikut sembahyang lingkungan. Sering di Minggu subuh, ia sudah berdiri di gerbang, dengan tampilan jauh lebih modis dari yang muda-muda, menunggu kami keluar. Ia tidak pernah telat dalam soal janji, seringnya kecepatan setengah jam sebelumnya.

Tante juga sering mengantar masakan Manado ke rumah, walau makanan itu tak habis karena kami sudah punya makanan sendiri. Oma juga yang pernah bersemangat memberi nasihat ke Naries soal makanan sehat, soal apa yang sebaiknya dan jangan dilakukan, ketika Naries hamil walaupun ia belum pernah hamil dan nasihatnya sering berlebihan.

Ketika tiba saat Jojo lahir, kami ingat Tante tak mau kehilangan momen menunggu di rumah sakit. Dengan baju merah, ia setia di kursi tamu. Ia juga turut berteriak saat Jojo pertama kami diperlihatkan kepada kami di boks bayi.

Semenjak Jojo lahir, ia kami panggil Oma. Ia selalu menganggap Jojo cucunya, walau tak pernah berani mengungkapkannya secara berlebihan. Ia juga tak pernah minta menggendong bayi Jojo karena sadar tangannya tidak kuat. Tapi pernah Oma sangat kukuh ingin menggendong Jojo, Naries sudah takut saja. Hari itu Oma ngeyel sekali, pokoknya harus bisa menggendong. Untungnya Jojo tidak kenapa-napa, Oma tampak bahagia.

Rupanya, ia habis itu tak lama pulang ke Manado. Katanya cuma dua atau tiga bulan. Kenyataannya berbulan-bulan lewat, rumahnya pun terbengkalai karena tak terawat. Oma lebih sering menghubungi kami, daripada kami menghubungi dia. Menanyakan Jojo, atau memberi kabar kalau dia baik-baik saja, tetap ikut terapi untuk tangan kirinya, walau kami tak menanyakannya. Memberi tahu kalau ia belum bisa ke Bogor karena mesti merayakan ulang tahun ibunya di sana. Oma saja sudah tua, bagaimana ibunya. Pasti jauh lebih tua.

Setelah hampir setahun, tiba-tiba mendekat akhir November, Oma Anna datang. Tanpa memberi kabar. Rupanya ia akan hanya berkunjung sebentar, hendak menjual rumahnya dan menetap kembali di Manado. Jadilah ia tinggal di rumah kami, menjadi bagian keluarga, makan dari makanan yang sama, menonton acara TV dari TV yang sama.

Selama tinggal di rumah, Oma kadang kagok karena terbiasa tinggal di rumah sendiri. Ia masak di dapur di waktu Naries masak makanan buat Jojo. Ia bangun jam empat pagi buta, mandi, untuk mengikuti misa pagi saat semuanya masih terlelap. Ia duduk dimana Jojo sering bermain. Kadang ia bereaksi berlebihan saat melihat Jojo berlari ke luar atau memegang benda-benda.

Sejak dua hari lalu Oma kena flu, batuk. Kami kuatir ia akan menulari Jojo, maka aturan pun coba diterapkan agar Oma banyak istirahat, pakai masker dan tidak dekat Jojo. Jojo tidak peduli, ia tetap main di mana Oma duduk, kadang tetap panggil-panggil Oma..Oma.

Tadi siang, Naries bilang Oma kena sesak nafas karena minum obat batuk dan obat pusing kepala. Kami duga itu salah obat, kontra indikasi. Karena sesaknya lama, sorenya dibawa ke RS PMI Bogor oleh keponakannya. Naries tidak mengantar karena ada Jojo. Entah keponakan kandung atau bukan, karena Oma tidak pernah jelas kalau bercerita. Semua orang muda yang ke rumahnya selalu dibilang keponakannya.

Naries bilang ia merasa punya perasaan tidak enak tentang Oma.

Keponakannya selalu berkabar dengan Naries, tentang semua hal. Malam, ada kabar Oma masuk ICU. Oma gagal jantung. Bukan salah minum obat. Tak lama, ada kabar Oma sudah tidak sadar. Lalu, ada kabar keluarga telah dipanggil oleh dokter tentang kondisinya.

Ujungnya, ada kabar Oma telah berpulang, sekitar setengah 11 malam. Kami tak percaya.

Kata dokter, Oma kena gagal jantung akibat tumor paru-paru. Ia tidak pernah bilang, karena juga mungkin tidak tahu. Ia hanya tahu punya riwayat penyakit jantung, namun tak seorangpun dari kami tahu itu.

Sekarang ini kami bersedih. Barangkali bukan karena mengingat Oma memilih tinggal di rumah di hari-hari terakhirnya. Melewati hari-hari dengan duduk di ruang TV kami, dan doa hening di kamar tamu rumah kami. Bukan juga karena mengingat betapa baiknya Oma pada kami. Hal-hal itu membuat kami haru.

Tapi karena kami mengerti, betapa selama ini, Oma telah sendiri di banyak hal dalam hidupnya. Ia sendiri, tak punya anak, tak ada saudara tinggal serumah. Pernikahannya telat, namun itupun sangat singkat. Diantara banyak kecerewetan dan keluhannya selama ini, justru soal kesendiriannya itu yang tak pernah kami dengar. Ia hanya mengeluh soal tangannya, soal hujan, soal macetnya jalanan di Bogor.

Sakit pun ia sendiri. Sampai akhir hayatnya, tak seorang pun tahu ada tumor dalam paru-parunya yang membuatnya terkena gagal jantung. Ia juga tidak ditunggui siapa-siapa dalam meninggalnya. Bahkan mungkin karena begitu mendadak, keluarganya di Manado tak tahu perkembangannya.

Saya tidak tahu bagaimana proses Oma meninggal. Tapi ia meninggal tidak sadar, ia pasti tidak merasakan sakit. Saya juga tidak mau berandai-andai bahwa karena Oma orang baik ia sekilas seperti tersenyum saat meninggal.

Yang saya tahu, Oma Anna akan dikremasi seperti suaminya dulu. Oma tidak akan dikalungi salib dan dikubur dengan peti. Oma sudah pergi dari dunia yang kami tempati ini. Kami tidak pernah bisa tahu bagaimana perjalanannya di dunia yang lain itu.

Kami hanya berharap ada belas kasih kepadanya dari Allah Bapa – yang ia percayai dengan sepenuh jiwa raganya – kepada Oma yang punya hati tulus, seorang nenek yang tangannya gemetar saat membuat tanda salib. Yang dengan memaksa, setahun lalu diantara tatapan kuatir Naries, telah berhasil menggendong Jojo dengan tangan gemetar dan tak sempurna.

Mata saya berkaca-kaca saat menulis ini.

Selamat jalan Oma Anna. Selamat berbahagia.

Bonn. 05.12.2015

 

 

 

 

Trier – Roma kecil di Barat Jerman

“Was ist die älteste Stadt in Deutschland?” tanya sang guide itu kepada kami para peserta ekskursi dari Universitas Bonn. Namanya si guide Beate Kirchel, dan karena usianya ia seharusnya dipanggil Frau Beate, namun ia memilih dipanggil sebagai Beate saja.

Kota manakah yang paling tua di Jerman? Agaknya Beate hanya berbasa-basi saja kepada kami. Kami semua telah tahu bahwa, di sinilah, di tempat kami berdiri saat itu, yang diklaim sebagai kota tertua di Jerman. Nama kota itu Trier.

Pada awal Agustus 2015 itu saya mengunjungi Trier. Kota kecil ini terletak tepi Sungai Moselle di Provinsi Rhine-Palatinate, di Barat Jerman dan berbatasan dengan Luxemburg. Konon, Trier didirikan oleh suku bangsa Treveri dari wilayah Celtics (Inggris Raya) dengan nama Treuorum pada sekitar 400 tahun sebelum Masehi. Nnamun atefak-artefak yang ditemukan belakangan menunjukkan usia yang ribuan tahun lebih tua. Kemudian diokupasi oleh bangsa Romawi seabad sebelum Masehi. Namanya diubah menjadi Trevorum. Namun lambat laun berubah lagi pengucapan internasionalnya menjadi Trier seperti yang kita kenal sekarang.

“Trier, di bawah Kaisar Konstantin Agung dari Romawi menjadi salah satu kota terpenting di wilayah Western Roman Empire. Empire ini luas sekali, membentang dari Inggris, Spanyol, Afrika bagian utara, Palestina, Suriah, Yunani, Makedonia, Jerman bagian Barat, Perancis, dan tentu saja Italia. Kejayaan itu terutama pada abad ke empat setelah kelahiran Yesus Kristus”, lanjut Beate.

“Tapi apa yang menjadikannya penting? Nanti kita lihat sama-sama”.

Mukanya tak bisa menyembunyikan kebanggaan dari seseorang yang lahir, tumbuh, besar, dan mencari nafkah di Trier ini sebagai pemandu tur berlisensi dari pemerintah kota.

Frau Beate terus saja bicara, “…dan inilah Porta Nigra yang merupakan landmark kota…”sayup-sayup suaranya memelan sebab saya menjauhkan diri dari kerumunan. Ya, kami memang berdiri di depan Porta Nigra, benteng pertahanan Trier di masa lalu. Menjulang, tampak masih kokoh dan unik, dengan batu hitam yang menyusunnya.

Porta Nigra berasal dari bahasa Latin yang artinya Gerbang Hitam. Kok hitam? Apakah batunya memang hitam? Ternyata tidak, asalnya dibuat dari sandstone abu-abu, namun polusi menjadikannya hitam. Ciri khas bangunan Romawi tampak sekali. Satuan batu yang luar biasa besar. Seperti batu bata tetapi dengan ukuran yang puluhan atau ratusan kali lebih besar, bahkan ada yang beratnya sekitar 6 ton.

Dibangun sekitar abad ke dua sesudah Masehi dan merupakan satu-satunya gerbang masuk kota Trier yang tersisa. Dengan lebar 36 meter dan tinggi lebih dari 30 meter, bangunan ini merupakan gerbang terbesar di seluruh wilayah bekas jajahan Romawi di utara Pegunungan Alpen. Saya melihatnya, dan menyadari bahwa Porta Nigra bukan hanya gerbang, tapi juga tempat tinggal, dimana tampak jendela-jendela yang lorong-lorong. Barulah setelah membaca brosur wisata Trier, saya tahu bahwa Porta Nigra dulunya juga adalah biara dan juga gereja. Seorang biarawan pertapa pada abad ke 10, Simeon dari Yunani, pernah tinggal dan dimakamkan di Porta Nigra. Karena ketaatannya, ia kemudian dikanonisasi dan menjadi salah satu santo dalam agama Katolik. Pengunjung bisa masuk dan naik ke atas dengan membayar 3 euro.

Salah seorang anggota rombongan kami dari Jepang, Ayaka, karena tidak bisa naik ke atas, memilih berfoto saja dengan pria yang berkostum prajurit Romawi. Lengkap dengan jubah merah, penutup kepala besi, jumbai merah di kepala dan tentu saja pedang dan sepatu bertali ala tentara Romawi. “Biar disangka di Roma”, katanya sambil tertawa, dan kemudian bilang mau mengunggahnya di laman facebook-nya.

Porta Nigra ini hanyalah satu dari sembilan UNESCO World Heritage Sites yang ada di Trier. Uniknya lagi di pusat kota, dalam wilayah yang hanya sekitar 3 km persegi, terdapat delapan situs warisan dunia. Satu situs yang lain yakni Igel Column (Pilar Igel), situs pemakaman kuno bangsawan Romawi berada agak jauh di tepi Sungai Moselle, sekitar 8 kilo dari pusat kota.

Dalam waktu kurang dari dua jam, dan hanya dengan berjalan kaki, kita sudah bisa melihat sembilan bangunan yang berusia ratusan tahun. Saya berpikir, wah berwisatanya bakal enak sekali kalau begini. Tidak capek tapi dapat banyak. Tak heran, Trier menjadi favorit wisatawan di wilayah Jerman bagian utara, terutama mereka yang menyukai sejarah dan ingin mengetahui jejak-jejak Romawi di Jerman. Rupanya inilah yang menjadi daya tarik utama di Trier. Trier tidak hanya tua, tapi juga kaya atas situs warisan dunia.

“Trier juga disebut sebagai Roma kecil di Utara”, tambah Beate ketika disinggung mengenai banyaknya peninggalan Romawi di Trier. Terkait dengan itu, setidaknya, ujar Beate, pada zaman Kekaisaran Romawi, saat kota-kota lain belum bertumbuh seperti sekarang, Trier penting dalam dua hal, yakni dalam hal penyebaran agama Katolik dan ekspansi politik perluasan wilayah kekuasaan.

Untuk melihat itu, Frau Beate membawa kami ke Trier Dom (katedral Trier) dan Church of Our Lady, dua gereja yang juga menjadi situs warisan dunia. Di katedral yang menjadi katedral tertua di Jerman itu, penyebaran agama Katolik berkembang ke seluruh Jerman, dan ke daerah-daerah yang sekarang dikenal sebagai Belanda dan Belgia. Lanjut Beate, karena pusat penyebarannya di bagian barat Jerman, maka tak heran ketika gerakan Protestanisme melanda Jerman, Jerman bagian barat kebanyakan masih setia kepada Katolik sementara di bagian tengah dan timur beralih kepada Protestan.

Yang unik dari katedral ini adalah tamannya yang indah di halaman dalam. Bunga-bunga bermekaran, hijau daunnya tampak kontras dengan langit biru dan warna bangunan yang kecoklatan. Selain itu, di menaranya, ada tulisan Latin: Nescitis Qva Hora Dominvs Veniet yang artinya “kamu tidak tahu kapan Ia akan datang”, yang bermakna agar kita senantiasa selalu berjaga-jaga dengan doa dalam hidup kita.

Saya hanya sebentar di katedral karena rombongan beralih ke Roman Imperial Throne atau Basilika Konstantin. Bangunan ini, menurut Beate, sangat khas Romawi. Bangunan ini memperlihatkan keinginan Konstantin untuk menjadi penguasa tunggal, sehingga bangunan sebesar itu hanya punya satu ruangan yang sangat besar dan tinggi. Mirip aula sehingga dikenal juga sebagai Aula Palatina. Dibuat dari fragmen-fragmen yang diambil dari Pegunungan Pyrenees di Perancis dan dari Afrika Utara. Dari ruang inilah, komando dijalankan untuk mengamankan daerah jajahan terutama di Gallic Empire yang meliputi Jerman ke arah barat sampai ke Inggris Raya.

Bosan dengan bangunan? Mari kita ke kolam pemandian bangsawan Romawi. Ujar Beate, jika di suatu kota bekas Romawi ada pemandian mewah, sudah bisa dipastikan bahwa kota itu penting bagi para bangsawan Romawi yang terkenal dengan gaya hidupnya yang senang kemewahan. Dan Trier, malah punya dua pemandian: Imperial Baths dan Barbara Baths. Kami pun menuju Imperial Bath.

“Dulu, saat mandi disini wanitanya sudah pakai bikini lho”. Beate menjelaskan itu sambil memperlihatkan hasil publikasi penelitian para akeolog. “Jadi sebenarnya usia bikini itu sudah setua kota ini”. Kami tertawa. Tak hanya itu, lanjut Beate, ini pemandian massal, bukan pribadi. Jadi, orang yang mandi sama-sama nyemplung, dengan air hangat yang dialirkan dari saluran tertentu. Selain itu, walau namanya pemandian, reruntuhan ini dulunya dipakai juga sebagai tempat bersantai, dengan fasilitas olahraga air dan ruangan khusus untuk negosiasi antar pembesar. Kami terpana mendengar penjelasannya. Saya membayangkan betapa pada zaman itu, sehabis mandi, para bangsawan bersantai mengudap hidangan yang disajikan pelayannya. Bercakap-cakap antar mereka sementara pelayan mengelap tubuh mereka dan memakaikan pakaian kebesaran. Kemewahan khas para bangsawan penguasa.

Cukup lama kami di pemandian, dan saat keluar kami melihat keramaian di kejauhan. Ternyata ada semacam “perkemahan Romawi”, dimana banyak tenda-tenda pasukan Romawi dengan orang-orang yang berpakaian ala zaman itu. Mengingatkan saya pada komik Asterix dan Obelix, karena orang-orang itu juga membawa pedang dan tameng, dengan rambut pirang dikepang. Ada yang seolah-olah sedang berlaga, lengkap dengan kuda tunggangan dan tongkat penusuk. Kayaknya seru! Namun ketika kami hendak masuk, ternyata tidak gratis. Untuk masuk dan terlibat di dalamnya mesti bayar 6 euro per orang.

Sinar matahari terasa menyengat di Trier, padahal sudah pukul empat sore. Mungkin karena summer, dan matahari memang baru tenggelam sekitar pukul sembilan malam. Masih ada agenda menuju situs warisan dunia berikutnya yakni Roman Bridge – yang sekali lagi – disebut sebagai jembatan tertua di Jerman. Namun saya untuk memilih jalan sendiri, agar lebih bebas mengambil foto-foto yang terbatas tadi saat bersama rombongan.

Di alun-alun kota suasana masih tetap ramai. Anak-anak kecil bermain ayunan sambil berteriak, sementara orang tuanya mengawasi dengan waspada. Penjual bunga di sepeda menawarkan dagangannya dengan santai. Sepedanya diletakkan begitu saja di tengah jalan. Di sudut, seorang seniman kawat memamerkan keahliannya membentuk rupa-rupa bentuk binatang atau bangunan dengan kawat.

Di sebuah bangku di ujung jalan saya beristirahat sambil mengudap es krim Italia seharga 3,3 euro yang saya beli Restoran Calchera di ujung jalan menuju katedral. Kelezatannya memang luar biasa, atau hanya karena perasaan saya yang gembira, atau karena udara yang panas? Entahlah, sesaat saya berpikir tentang kebanggaan Beate tentang kota kecilnya ini. Ia tidak hanya bangga karena ketuaan kotanya saja, tapi ia juga bangga melihat bagaimana kota ini memelihara warisannya.

Sehabis es krim ini, saya hendak menuju Museum Karl Marx. Yap, Karl Marx bapak komunisme dan sosialisme dunia itu memang dilahirkan di Trier, pada tanggal 5 Mei 1818. Rumah kelahirannya yang terletak di Brückenstrasse 10, agak di pinggiran kota itu, menjadi Museum Karl Marx dengan pendanaan dari Friedrich Ebert Foundation. Kota ini tak hanya menjaga warisan peradaban, ia juga mengabadikan salah satu anak manusia yang pernah dilahirkan di sini, dengen menyimpan diorama kehidupan dan perjalanan karya-karya dari seorang yang dianggap paling berpengaruh pada zamannya. Mengingat itu, saya tiba-tiba menyenangi kota ini lebih dari sebelumnya.

Saya pun mengamini tulisan di Roten Haus (rumah merah) di Trier Haubmarkt (pasar/pusat keramaian):

Ante Romam Treviris Stetit Annis Mille Trecentis Perstet et Eterna Pace Frvatvr. Amen.

“Sebelum Roma, Trier berdiri selama 1300 tahun. Semoga kota ini tetap berdiri dan menikmati kedamaian abadi. Amin”

Dimuat di Majalah Travelounge, November 2015

 

Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah

Aneh juga, biasanya saya tidak suka mengutip kata-kata “bijak” yang lurus-lurus saja. Kali ini, lirik lagu Jangan Menyerah dari d Masiv:

“Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik..”

kok ya, nyantol tanpa basa-basi 

Padahal kalimat itu kayak nasihat saja, kurang nggigit. Normatif banget. Dan ini juga dari band pop remaja, yang kontemporer, nyanyi kayak ngomong, dan yang pasti bukan kelasnya kutipan dari lirik Kurt Cobain – Nirvana, atau sastrawan Oscar Wilde, Mark Twain.

Entahlah, mungkin ini akibat kurang piknik.

Keriuhan belum berakhir di Castellon

Restoran Tiga Pinguin itu terletak di pinggir Grao, istilah setempat untuk pantai. Kami duduk menghadap Laut Mediterania yang tenang. Meresapi hangatnya matahari sore yang berpadu dengan angin sepoi-sepoi. Minuman horchata dan kudapan tapas (snack seafood) menemani pembicaraan mengenai rencana menonton festival Maria Magdalena besok. Istri saya Naries, antusias membuka-buka brosur mengenai sejarah festival itu. Dan tentang Castellon, kota kecil yang bakal kami tinggali selama tiga bulan kedepan.

Castellon de La Plana, kota di pesisir Barat Spanyol itu, didirikan oleh Raja James I of Aragon tahun 1251.  Sudah 764 tahun umurnya, dua setengah abad lebih tua dari Jakarta.  Diapit oleh Barcelona di Utara dan Valencia di Selatan, Castellon menjadi kota kecil yang unik secara kultural. Ia ada di antara pengaruh budaya dan tradisi Catalan (Catalanion region: Barcelona dan sekitarnya) dan bangsa Castillian (berpusat di Madrid). Selain itu, ada pengaruh Bangsa Islam Moor dari Maroko yang pernah menguasai Semenanjung Iberia pada awal abad pertengahan. Kultur unik, berpadu lanskap Mediteranian yang hangat, iklim yang menyisakan musim dingin yang pendek dan kadang tanpa salju, diapit oleh pantai “Costa del Azahar” sepanjang 120 kilometer di Timur dan perbukitan tandus “Desert de las Palmes” di Barat, menciptakan karakter masyarakat yang berbeda dari Eropa bagian tengah dan utara.

Ramai senang bicara, hangat, penuh sapa, sedikit urakan dan norak serta tentu saja santai dengan waktu. Ada anggapan bahwa di daerah pesisir Mediterania, akhir pekan itu dimulai Kamis malam. Atau pernah dengar istilah siesta, tidur siang pada jam kerja selepas makan siang, untuk datang lagi sekitar pukul tiga dan pulang pukul lima sore?

Di Bulan Maret ini, mereka sedang berpesta selama seminggu penuh merayakan festival Maria Magdalena. Ini festival di Spanyol, kawan, di mana orang-orangnya memang terkenal suka pesta, dan suka makan. Tahukah bahwa menu makan malam orang Spanyol biasanya berat, berlapis-lapis dan selesainya jauh larut malam karena mereka dalam acara makan pasti berlama-lama bicara satu sama lain? Bayangkan, festival di kota pantai Mediterania, di awal musim semi: parade, makanan enak, udara hangat, bermatahari, maka romantisme Mediterania bukan isapan jempol belaka.

Saat horchata, minuman lezat campuran dari perasan tigernuts (sejenis kacang), air dan gula itu habis, hari mulai gelap. Orang-orang tua yang sebelumnya banyak berjalan-jalan sambil menuntun anjingnya pun pulang. Bergegas kami mengejar bus pulang ke rumah di Carrer Tarragona, dekat Plaza de Maria Agustina, pusat kota Castellon. Malam ini, kami telah punya agenda lain, diundang makan malam oleh teman sekelas di Universitas Jaume I asal Bangladesh. Makan malam bermenu kari, bukan Spanish dinner. Besok telah menanti petualangan sesungguhnya.

***

Sebagai kota yang sudah berabad-abad berdiri, dimanakah jejak-jejak zaman itu tampak? Yang pertama adalah Moorish Castle of Fadrell, didirikan pada awal abad 13, di bukit Desert de las Palmes, berjarak sekitar 7,5 kilometer dari kota. Bangunan tua itu adalah tempat tinggal pertama para pendiri kota Castellon sebelum dipindahkan ke tepi laut yang datar oleh para penakluk Spanish. Inilah yang menjadi latar belakang Festival Maria Magdalena, yang prosesinya berupa parade mengenang perjalanan ke lokasi di sekitar Kapel Maria Magdalena, orang kudus pelindung kota.

Walau menantang, paginya kami putuskan untuk tidak ke sana. Jauh dan transportasinya terbatas. Padahal  di sana telah dibangun taman rekreasi yang indah. Ada rute hiking keluarga, gardu pandang untuk melihat kota Castellon dan sekitarnya serta lautan biru Mediterania. Juga ada kebun Naranja (jeruk asli Valencia) yang berwarna oranye dan menjadi ciri khas hasil kebun pesisir Valencian Community.

Kami hanya jalan-jalan di kota menunggu parade. Sarapan dulu di Il Caffe di Roma, sebuah café kecil nan nyaman di Jalan Carrer Mayor, tidak jauh dari tempat tinggal kami. Menu pagi itu adalah roti khas el desayuno (sarapan) yakni magdalenas (kue cupcake yang gurih manis dengan sedikit campuran lemon), plus dengan minuman andalan, café con leche (ekspreso plus susu krim kental). Naries yang pengen coba menu lain, meminta churros dan coklat panas.

“Churros y chocolate caliente, por favor?” Katanya sedikit bergaya. Si pelayan yang ramah itu tersenyum dan membalas, “Mui bien, que mas: paella?” Ah, cukuplah, rasanya itu saja pagi ini, sebab paella cocoknya bukan buat sarapan. Churros adalah gorengan tepung terigu yang ditaburi gula, dibentuk bulat panjang. Semuanya sekitar 8 euro.

Setelah perut terisi, sambil menikmati suasana kota yang nyaman, kami melangkah sekitar 100 meter menuju bangunan gothic tertua di Castellon. Biasanya, selain City Hall, bangunan tua yang bertahan adalah gereja. Dan benar, bangunan tertua di pusat kota itu memang gereja, yakni Gereja Santa Maria yang dibangun pada akhir abad ke 13 dan direnovasi terakhir tahun 1936 oleh arsitek lokal Vicente Traver. Tampak kokoh dan masih dipergunakan untuk misa tiap minggu, walau menurut berita, kini jumlah umat yang beribadah ke gereja sedikit sekali di Castellon ini.

Di kanan kiri pintunya ada tulisan Ave Maria Gratia Plena, berarti “salam Maria penuh rahmat”, merupakan kata-kata pertama Doa Salam Maria umat Katolik. Gereja ini tidak besar dan megah. Biasa saja. Tak banyak yang tahu bahwa dulunya dari sinilah basis penyebaran agama Katolik berkembang ke daerah sekitar Castellon seperti Teruel, Bennicassim, Villareal, dan lain-lain.

Dari Gereja Santa Maria, kami menuju Ribalta Park. Taman yang rindang dan penuh pepohonan. Nyaman sekali buat bersantai menunggu parade mulai. Namun kemudian, ada keramaian. Beberapa orang pria tampak sibuk dengan wajan luar biasa besar, seukuran meja makan tampaknya. Mereka menuang air, beras, mengaduknya, memberi bumbu. Setelah diaduk rata, udang, cumi, daging ikan, kerang, dicampur ke situ, diletakkan di permukaan dengan rapi, kemudian ditutup. Setelah sekitar 45 menit, meruaplah wangi masakan yang gurih. Salah satu juru masak berseru kepada penonton dalam kalimat yang tidak kami mengerti. Orang orang lalu berbaris, mengambil piring plastik yang disediakan. Kami tak mau kalah, ikut antri sambil cengar-cengir, dan berasumsi barangkali ini gratis sehubungan dengan acara festival.

Ya, rupanya memang gratis, disediakan oleh salah satu restoran yang menjadi sponsor. Dan menunya itu lho, paella valenciana. Makanan khas Spanyol ini mirip nasi uduk jika di Indonesia, namun lauknya dimasak bersamaan dengan beras, dan diberi warna kuning dari kunyit. Awalnya berasal dari regional Valencia, karena itulah yang terkenal adalah paella valenciana, seperti yang sedang kami makan. Bedanya dengan paella daerah lain adalah campurannya yang berupa seafood, dan bukan daging ayam, sapi atau babi. Hmm…lezat sekali. Cocok dengan perut Indonesia yang motonya: tak ada nasi tak makan namanya.

Setelah kenyang, terdengar bunyi terompet tanda parade dimulai. Bergegas kami menuju Plaza Maria Agustina, dimana acara dipusatkan. Orang-orang sudah berdesakan di pinggir jalan. Wah, bakal seru.

Konsep karnaval juga dipakai dalam parade ini. Setelah diawali oleh rombongan pembuka yang membawa arakan patung Maria Magdalena, satu persatu rombongan peserta pawai lewat. Mereka berasal dari berbagai daerah di sekitar Castellon seperti Ribesalbes, Onda, Almassora, Borriana, Bennicassim, Borriol. Kostumnya mencerminkan masyarakat zaman dulu, dengan mantilla (sejenis kerudung), peineta (sasak rambut), dan gilet (sejenis rompi) bagi prianya. Ada yang berperan sebagai raja dan ratu, ada putri cantik yang diapit prajurit dan pangeran. Di lain waktu tampak kehidupan para petani. Lengkap dengan jerami dan kandang ayam. Selain itu juga tampak pria yang ditampilkan sebagai penitents (para pendosa) yang bertobat.

Yang bikin heboh dan ditunggu penonton tentu saja penari-penarinya. Gadis-gadis seksi berbusana daerah bergerak lincah dan sensual di hadapan penonton membawakan tarian tradisional yang riang gembira, dengan musik berirama lokal. Atasan putih, rok hitam lebar. Saat bergerak, rok mereka berkibar-kibar.

Juga ada rombongan yang berkostum Afrika utara, berdrama seolah-olah hendak menyerbu kota, lengkap dengan senjata dan kuda yang dihias meriah. Setiap kali sajian ditampilkan, entah tarian atau drama singkat, kerumunan massa bersorak dan bertepuk tangan. Apalagi seringkali para peserta melemparkan permen, snack kecil, bahkan suvenir kepada penonton untuk menarik perhatian.

Parade telah berlangsung kira-kira tiga jam, namun penonton belum bergerak.. Tiba-tiba banyak anak kecil berlarian sepanjang jalan seolah-olah dikejar sesuatu. Ternyata yang mengejar mereka adalah kepala banteng yang sedang menyeruduk, dipegang oleh salah seorang panitia acara. Ingat encierro (bull run) di Pamplona? Inilah imitasinya, dalam bentuk yang hanya suka-suka.

Puas menikmati parade, kami berjalan menuju Avenida de Jaume I, salah satu jalan protokol di sana. Untuk menikmati patung-patung raksasa yang dipasang di tepi jalan. Mirip ogoh-ogoh di Bali dan Ninot di Valencia. Cuma patungnya tidak tradisional, lebih kontemporer. Patung itu juga tidak akan dibakar di akhir festival.

Kami membeli sangria, minuman fermentasi buah-buahan untuk menghangatkan badan. Sambil menikmati malam yang mulai turun, kami duduk di kursi banyak banyak tersedia di pinggir jalan. Mendekati tengah malam masih ada acara puncak, yakni tarian cahaya dan kembang api yang dipusatkan di Plaza Santa Clara dan El Fadri Tower, yang konon menurut berita akan luar biasa. Malam ini di Castellon pasti akan semarak, ketika langit berwarna-warni, riuh oleh ledakan kembang api dan teriakan penonton berpesta. Besok dan lusa juga masih ada konser musik. Juga corrida de toros, adu banteng di gelanggang Plaza del Toros. Keriuhan belum berakhir di Castellon.

Dimuat di Majalah Travelounge, Juni 2015

Perjalanan Mimpi ke Athena

Pesawat Ryan Air yang saya tumpangi dari Dusseldorf, Jerman sebentar lagi mendarat di Bandara International Eleftherios Venizelos, sekitar 30 kilometer dari pusat kota Athena. Dari jendela, terbentang gugusan pulau memanjang dan garis pantai putih kecoklatan dibalut biru cyan lautan, dipadu gundukan pohon zaitun di tanah berbatu yang begitu tipikal daratan Aegean. Seketika saya disergap rasa yang ajaib. Ada perasaan berdebar-debar bahwa saya akan memasuki lorong waktu impian sejak kecil.

Athena adalah ingatan tentang banyak hal. Kota penuh dewa-dewi gagah dan cantik: Athena yang bijaksana, Poseidon sang penguasa lautan, Zeus sang Dewa tertinggi, Loki yang culas. Tentang asal ilmu pengetahuan, paham kenegaraan, filsuf Plato dan Socrates, tentang legenda kuda Troya.  Begitu banyak tentang, hanya untuk sebuah kota. Kota dimana kisah-kisah imajiner bertemu dunia modern yang nyata.

Perasaan itu makin kuat dalam Airport Bus Rute X95 menuju Syntagma Square. Waktu tempuhnya sekitar 50 menit. Sepanjang jalan, saya merenungkan kepercayaan yang mengajarkan bahwa yang di depan mata itu sesungguhnya masa lalu. Sedang masa depan itu masih di belakang kita karena belum terlihat.

Di Athena, apa yang bakal saya jejaki adalah masa lalu, yang peninggalannya tetap agung dan gagah setelah ribuan tahun. Masa depan sepertinya tahu diri, ragu-ragu seakan ia hanyalah pengganggu keagungan dan kejayaan dunia lampau. Tapi perubahan tak terlawan, waktu berlalu, dan manusia hidup untuk masa depan, bukan? Belum memutari kota saja, pikiran saya sudah berkelana.

Dari Hotel Athens Backpacker, sekitar 500 meter dari bus station, setelah check in dan menaruh barang, saya memulai perjalanan impian itu: menengok kuil para dewa, lalu menyesap kehidupan kota.

Pukul tiga sore, berbekal peta saya menuju Acropolis. Terletak di bukit berbatu 150 meter di atas permukaan laut, Acropolis berumur lebih dari 3.000 tahun. Berasal dari kata Acron yang berarti perbatasan dan polis yang berarti kota. Kawasan 3 hektar ini merupakan tempat berdirinya beberapa monumen dan bangunan prasejarah bangsa Yunani kuno (21 buah), saat pengaruh Byzantium, Persia dan Ottoman memberi warna bagi budaya Yunani.

Untuk masuk ke Acropolis, pengunjung dikenakan biaya retribusi 12 euro. Pelajar dan mahasiswa gratis. Harga segitu tidak mahal karena sekaligus sebagai tiket terusan bagi beberapa spot wisata lain di sekitar Acropolis dan berlaku selama 3 hari. Saya tapaki jalan menuju Acropolis yang penuh imaji. Sepanjang jalan, pokok-pokok zaitun tumbuh di bebatuan berundak-undak. Warna kecoklatan berselang seling dengan warna hijau. Seakan sama setelah ribuan tahun karena tak satupun tampak bangunan modern yang berdiri di sekitarnya, yang ada reruntuhan. Rute dibuat dari batu alami yang disusun rapi.

Terbayang suatu laku perziarahan ke entitas yang lebih tinggi. Saya teringat kisah para Pandawa yang mengalami ujian saat mendaki Mahameru untuk bertemu dewa-dewa di surga setelah menangi perang Baratayudha. Dan apakah ini masih jalan yang dilalui Santo Paulus saat hendak berkhotbah di Aeropagus  dan lalu berdebat dengan para filsuf tentang konsep ketuhanan di masa kekristenan awal?

Di puncak bukit terhampar area yang datar dengan beberapa bangunan kuno berukuran besar. Inilah Acropolis. Saya disambut Propylaea, gerbang yang menjadi pintu masuk Acropolis. Pengunjung mesti mendaki anak tangga yang cukup banyak di antara pilar-pilar raksasa. Saya merasa agak familiar dengan bentuknya. Dan memang, setelah saya baca panduan wisata Acropolis, rupanya inilah bangunan yang menjadi inspirasi Bradenburg Gate di Berlin, yang dulunya pernah menjadi gerbang masuk kota Berlin pada abad ke-18. Siapapun yang memasuki Propylaea akan menyadari bahwa apa yang ada di balik gerbang ini adalah sesuatu yang luar biasa.

Awan yang bergantung dan hamparan luas memberi suasana yang dramatis, menggambarkan dimensi kekuatan alam semesta. Di sebelah kanan,  Parthenon berdiri dengan gagah. Bangunan persegi panjang berukuran 70 x 30 meter persegi ini fungsi utamanya sebagai kuil pemujaan bagi Dewi Athena sang pelindung kota. Megah dengan pilar-pilar yang mendominasi, berdiri tegak sebagai lambang demokrasi.

Saat saya datang, Parthenon sedang direnovasi. Masa lalu bertemu upaya pelestarian bagi masa depan. Diperkuat dengan pancang-pancang besi, agar tidak semakin goyah. Sejak dibangun sekitar seribu tahun  sebelum Masehi, bangunan ini telah ditempa berbagai kejadian. Dirusak saat Athena diserbu bangsa Persia dalam Perang Plataea (479 SM), kemudian dibangun lagi oleh kaum Athenean (pemuja dewi Athena) di tahun 447 SM, kemudian diubah menjadi Gereja Parthenos Maria pada abad ke-6 Masehi oleh pengikut Kristen yang sedang tumbuh. Bahkan mungkin sedikit yang tahu bahwa Parthenon pernah menjadi masjid di bawah imperium Ottoman sekitar akhir abad ke-15. Kini ia tinggal reruntuhan yang menyisakan keagungan peradaban masa lalu.

Disamping nilai sejarahnya yang luar biasa, keagungan Parthenon semakin jelas pada cella. Cella adalah ukiran eksterior pada atas bangunan yang menggambarkan prosesi Panatheanic Games, suatu festival empat tahuan penduduk Athena yang melibatkan event olahraga, prosesi religius keagamaan, dan pertunjukan budaya. Seorang tour leader dengan rinci menjelaskan makna ukiran-ukiran itu.

Tak akan habis rasanya mengagumi Parthenon yang bergaya Doric (arsitektur Yunani klasik yang dicirikan kolom-kolom dan pilar yang dominan) dan bangunan-bangunan kuno disekitarnya. Saat berdiri di dekat Erechtheion, kuil untuk memuja Athena dan Poseidon di bagian utara Acropolis, tampaklah hiasan-hiasan berupa Carytids, yakni patung-patung wanita yang berfungsi sebagai pilar.

Dari pinggir Erechtheion, saya memandang lepas ke kota Athena. Bangunan rumah putih warna marmer. Bendera Yunani berkibar dengan keras ditiup angin. Tak jauh, tampak Dyonisius ancient theater, tempat di masa lalu masyarakat berkumpul untuk menonton pertunjukan. Setelah renovasi, terangkai kursi-kursi dari batuan yang disusun setengah lingkaran. Tembok tinggi menjulang sebagai pembatas arena. Bayangkan ribuan orang bersorak saat seorang orator ulung tampil mempertunjukkan keahliannya berpidato.

Sekitar dua jam saya habiskan waktu di Acropolis. Memuaskan mata dengan bangunan-bangunan spektakuler. Tapi, Athena tak hanya menyuguhkan Acropolis.

Sore mulai menjelang. Turun dari Acropolis, saya menikmatinya dalam labirin lorong-lorong berundak yang legendaris, Plaka. Singgah di sebuah tavern dan memesan Greek Salad dengan feta chesse. Ciri khas masakan Mediterranean, pasti ada minyak zaitun dan keju. Tak kenyang, saya kemudian juga pesan Gyross (daging domba yang dimasak dengan bumbu rempah yang kental) dengan harga 5 euro. Enak sekali.

Memutari Plaka, sampailah saya di Monastiraki, melting point di kaki Acropolis yang terkenal dengan flea marketnya. Burung-burung merpati beterbangan dengan bebasnya. Di suatu sudut, penjual pitta ramai dikerubungi turis, sementara penjual buah di gerobak mengingatkan saya akan penjual buah kaki lima di Indonesia.

Saya lalu memasuki Athens Flea Market itu, membeli Evil Eye Charms yang berwarna biru terbuat dari kaca marmer. Mitosnya, akan menjaga keberuntungan kita dari Matiasma, pengaruh jahat yang selalu mencari celah untuk mengganggu. Di toko Pericles, penjualnya bertanya apakah saya dari Indonesia. Ketika saya jawab, ia langsung menyambut dengan berkata bahwa di usianya yang mendekati 60 tahun, ia telah 50 kali berkunjung ke Bali. Bayangkan, 50 kali! Melihat muka saya yang hanya setengah percaya, ia terbahak-bahak dan berkata, tak ada untungnya dia berbohong. Ditunjukannya topeng-topeng Bali dan Jawa, bambu yang diukir motif khas Indonesia dan Bali. Bagi dia dan istrinya, Bali ibarat surga. Begitulah, bagi si penjual, surga itu nun jauh di suatu negeri tropis.

Terus Athena ini apa? Mungkin puisi berjudul Athens dari Kostas Kayotakis, penyair terkenal Yunani bisa menggambarkannya: A sweet hour. Athens sprawls like a hetaera offering herself to April. Sensuous scents are in the air, the spirit waits for nothing any more. Bahwa Athena seperti perempuan berkelas yang menggoda, dengan wangi yang membangkitkan perasaan nyaman bagi yang berdekatan dengannya, tapi hanya sekejab dan ia lalu pergi lagi.

Saya pun ingin mencecapinya lebih jauh. Maka perjalanan saya teruskan ke Pysry, sudut kota yang terkenal dengan pasar yang ramai dan Gereja Byzantium yang berusia ratusan tahun. Dan tentu saja tak akan saya lewatkan momen pergantian prajurit jaga di Syntagma Square.  Malam nanti, telah menunggu sensasi memutari Acropolis dari pinggir kawasannya, melihat Parthenon yang bercahaya disinari lampu penerang.

Dimuat di Majalah Travelounge, Mei 2014

Suatu Siang di Kota Tangan Terlempar

Malam telah turun, kabut yang ditiup angin tampak melayang. Permukaan air Sungai Scheldt yang bergoyang menampakkan pantulan sinar rembulan yang berpedar malu-malu. Di keremangan, duduk seorang raksasa di bawah pohon maple dekat dermaga kecil di pinggir sungai yang terletak di depan sebuah kastil yang tidak terlalu megah. Memiliki leluhur dari Rusia, raksasa yang bernama Druoon Antigoon itu dianugerahi raut muka yang aneh, secara alami berkesan kejam dan pemarah, dengan rahang kotak yang keras dan jidat yang lebar, dan sorot mata kelabu yang penuh rahasia. Kulitnya pucat, kasar dengan bulu yang serabutan. Tangannya besar, penuh otot dan bekas luka sayatan. Di genggamannya ada pedang, yang sepertinya dibuat dengan kasar, bukan seperti pedang para ksatria yang halus dan indah. Pedang itu penuh bercak gelap, dan kemungkinan besar, telah sering digunakan.

Mata si raksasa Antigoon tak henti mengawasi alur sungai yang mengarah ke pemukiman penduduk di ujung sungai sana. Gelisah, seringkali terlihat ia bersumpah serapah. ”Sudah berhari-hari dan tak ada kapal yang lewat. Sial!”, ia menggerutu lagi dengan raut muka semakin masam. Berkata-kata sendiri bahwa kesialannya ini barangkali ada hubungannya dengan kejadian beberapa hari lalu saat ia merampok dan kemudian memotong tangan seorang pedagang Romawi dari Brabant, kota kecil yang terletak tak jauh di utara.

Tiba-tiba terdengar suara air permukaan sungai yang pecah. Bayang-bayang memanjang mulai tampak. Rupanya ada kapal kecil yang membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari penduduk kota akan merapat ke dermaga kecil tempat ia menunggu. Sontak raut muka Antigoon berubah menjadi cerah. Ia bangkit dan menyeringai kejam.

***

Bukan seringai yang saya lihat di muka Prof. Hubeau, seorang guru besar Sosiologi dari University of Antwerp yang hari itu menjadi guide wisata dadakan. Melainkan senyum hangat yang ditujukan kepada kami, para peserta pelatihan tentang Land Management dari KU Leuven yang sedang studi ekskursi ke Antwerp. Antwerp, kota yang terletak sekitar 56 kilometer di utara Brussels, Belgia.

Saat itu kami sedang berada di MAS (Museum aan de Stroom) yang terletak di Port Antwerp. Bangunan unik setinggi 60 meter ini merupakan museum terbesar di Antwerp yang memiliki koleksi sekitar 500.000 buah, yang mencerminkan sejarah kota Antwerp. Berisi koleksi seperti lukisan, memorabilia, dan benda-benda antik yang berharga sejak zaman pendudukan Gallo-Romawi, ekspansi Spanyol, kedatangan kaum Yahudi Eropa, pendudukan Perancis, Jerman dan Belanda, sampai saat ini di era perdagangan berlian yang menjadi primadona.

Di lantai tertinggi museum, Prof. Hubeuau bercerita bahwa bagi sebagian turis, Antwerp adalah kota besar terindah di area Flanders (area yang penduduknya berbahasa Belanda), di negeri Belgia. Kota ini, yang juga kota terbesar kedua di Belgia setelah Brussels, adalah kota pelabuhan terbesar kedua di Eropa Barat setelah Amsterdam. Jadi, kehidupan kotanya ditopang oleh perdagangan dan lalu lintas barang. Terutama lewat Sungai Scheldt yang membentang sejauh 350 kilometers dari dataran tinggi Perancis dan bermuara di North Sea.

Sambil mendengar tuturannya, saya melihat sekeliling dari ketinggian. Memandang kagum scenery kota Antwerp dan lanskap atap bangunannya yang indah. Tampak menara gereja Cathedral of the Virgin Mary Antwerp dan bangunan penting seperti City Hall menonjol menjulang. Mempesona, apalagi jejeran kapal-kapal di sepanjang Sungai Scheldt yang membelit kota, berjejer rapi dan menjadikan lanskap unik yang jarang ditemukan di belahan Belgia yang lain.Saya membatin, ini memang konsep pembangunan river-front city yang diterapkan dengan baik.

Kami tidak lama di situ karena perjalanan berlanjut ke sudut lain Antwerp. Jika di Eilandje Quarter yakni di Port Antwerp dan MAS kita terutama melihat konservasi dan tata kota, bangunan dan benda-benda, maka di area Central Station kita melihat sisi lain Antwerp, yakni pluralisme yang hidup dan menyatu dengan keseharian kota. Tepatnya antara penduduk lokal Flanders yang mayoritas Kristen dan kaum Jewish (Yahudi). Kawasan sekeliling Antwerp Central Station adalah kawasan Jewish. Ditandai dengan banyaknya sinagoga, restoran dan sekolah khusus Jewish, dan seringnya kita melihat mereka lalu-lalang dengan pakaian hitam-hitam pekat. plus topi dan rambut dikuncir bagi kaum laki-lakinya.

Menurut Prof. Hubeau, Antwerp adalah kota di Eropa dengan kaum Jewish terbanyak. Saat ini ada sekitar 15.000 orang, dan mayoritas dari mereka adalah kaum Jewish Haredi, yang walau masih ortodoks tapi lebih moderat, dan sisanya adalah Jewish Hasidim yang ultra-ortodoks. Mereka masih mempraktekkan tradisi kehidupan kaum Jewish yang relatif otentik, namun dengan gaya tersendiri sehingga mereka disebut secara khusus yakni “Jewish Antwerp” atau dalam bahasa Belanda-nya “Joods Antwerpen”.

“Kami sudah lama berinteraksi, sejak awal abad 16. Jadi walau pada awalnya sering terjadi pertikaian, karena perbedaan ideologi, gaya hidup, dan yah, karena eksklusivitas mereka, itu tidak menjadikan  mereka musuh,” tuturnya.

Walaupun apolitis, kaum Jewish mendominasi sektor perekonomian di Antwerp. Mereka memiliki toko-toko berlian di tengah kota yang terkenal sebagai pusat jual beli berlian berkualitas tinggi di Eropa. Toko-toko berlian bertaburan di sekitar stasiun seperti di Pelikaanstraat. Saya yang yakin harga berlian tersebut pasti selangit, hanya bisa melongok dari kaca luar karena hari itu adalah Hari Sabtu, yang menurut kepercayaan mereka adalah Hari Sabat yang dikhususkan bagi Tuhan saja, sehingga kegiatan lain selain keagamaan dikesampingkan.

Bagi saya, yang menarik bukan hanya keindahan berlian mereka. Tetapi bagaimana pemerintah kota Antwerp yang didominasi mayoritas Flemish saat ini berhasil mengatur kehidupan masyarakat yang heterogen ini tanpa adanya gejolak yang berarti. Mengingat pengaruh ekonomi kaum Jewish yang besar, agaknya yang menjadi benteng utama pluralisme itu adalah ekonomi kota yang stabil. Ini tersirat dikatakan Prof. Hubeau. Walau Belgia secara politik rentan karena segregasi regional yang menajam antara komunitas Flanders (komunitas penduduk berbahasa Belanda) di utara, dan minoritas Wallonia (penduduk berbahasa Perancis) di selatan, serta komunitas East Cantons di Liege yang berbahasa Jerman di tenggara Belgia, situasi di Antwerp seakan-akan tidak terpengaruh.

Tak terasa sudah lepas tengah hari dan perut pun lapar. Seakan ingin menegaskan semangat keberagaman yang sudah jadi keseharian, kami dibawa ke restoran Portugis di daerah yang dikenal sebagai “immigrant corner” atau “Borgerhout”, yang menjadi tempat bermukim sekitar 30.000 imigran. Saya lihat di area tersebut, suku bangsa membaur. Ada wajah Eropa Timur, seorang pria berambut pirang duduk dan tertawa-tawa dengan seorang pria lain berwajah Arab dan seorang wanita Belanda. Lalu lewat seorang wanita Timur Tengah yang berjilbab hitam menyeberang jalan. Dan di dalam restoran, percakapan dalam bahasa Portugis bercampur dengan bahasa Belanda. Memang menurut statistik tahun 2010, 36% warga Antwerp adalah imigran dari seluruh pelosok dunia.

Kami disajikan menu Cozido A Portuguesa, makanan ala Portugis dengan pork, dan sayuran seperti sawi asin, dan nasi yang pulen ditaburi kuah seperti kanji. Musah, seorang teman Muslim dari Kamerun, hampir saja kecolongan dengan menu itu. Untunglah ketika menu datang, Prof. Jos dari KU Leuven yang mendampingi kami iseng bertanya siapa diantara kami yang memiliki pantangan terhadap makanan tertentu karena alasan agama atau kesehatan. Musah langsung curiga dan bertanya-tanya. Akhirnya dia hanya makan ayam goreng biasa. “Untunglah, tadi itu hampir saja,” dia berkata sambil tertawa lega.

Selepas bersantap, sebelum melanjutkan perjalanan kembali, Prof. Hubeau berkata, “Sekarang kita akan pergi ke Historich Centrum, tempat yang paling disukai turis dan paling banyak toko suvenirnya”. Dia bercerita bahwa area inilah destinasi utama turisme di Antwerp dan menjadi meeting point penduduk Antwerp. Belum sah datang ke Antwerp jika belum ke Historich Centrum.

Grote Markt (main square) tak bisa dipungkiri adalah daya tarik utama di Historich Centrum, terutama karena area terbuka ini dikelilingi oleh banyak bangunan dengan arsitektur yang klasik dan indah. Dan ciri khas bangunan-bangunan tersebut adalah adanya dinding di muka rumah dengan kayu palang yang menjulang ke atas. Saya jadi ingat kota-kota di Jerman, terutama di daerah Muenster, North Rhine Westphalia, tempat saya menyelesaikan studi dulu. Bisa jadi, pengaruh Prussia juga masih tersisa di Antwerp. Salah satunya Stadhuis (City Hall), dibangun sekitar pertengahan abad ke-16 oleh arsitek Flemish Rennaissance yakni Cornellis Floris de Vriendt. Keindahan gedung Stadhuis ini terutama karena menaranya yang menjulang, dipadukan dengan logo dan lambang berwarna emas, serta bendera yang banyak dipasang.

Suasana cerah sore itu tampak membuat semua orang bergembira. Para seniman jalanan, baik yang necis dengan jas dan piano, maupun yang agak kumal dengan gitar butut, tampak bersemangat bersenandung untuk mengais rejeki dari para turis. Pada suatu waktu lain, saya melihat gadis-gadis berpakaian tradisional datang dengan kereta kuda, lalu menari-nari dengan ceria dan penuh tawa. Suasana sontak menjadi riuh.

Jika ingin menyewa sepeda untuk menjelajahi kota, kita dapat menghubungi bagian informasi yang terletak di dekat Grote Markt itu. Atau jika ingin bersantai sejenak, banyak kafe dan restoran di seputaran Grote Markt. Ada juga makanan yang dijajakan di pinggir jalan. Papan daftar menu dipasang dengan provokatif, menggoda turis untuk singgah. Saya tak melewatkan kesempatan singgah di Irish Pub, untuk menyegarkan tenggorokan dengan minuman dingin. Saya pernah baca, alasan Irish Pub begitu marak dan terkenal dan hampir ada di tiap kota besar di Eropa adalah karena selain suasana yang dibuat nyaman dan bersahabat, orang Irlandia dikenal sebagai perantau yang melankolis, senang bernostalgia tentang tanah air Irlandia nun jauh di sana, dan karena itulah mereka selalu butuh tempat berkumpul dimanapun mereka berada. Jadi tak heran, dimana ada perantau-perantau Irlandia, pasti ada Irish Pub.

Selain City Hall, landmark kota yang lain adalah Katedral Santa Perawan Maria (Catedral of the Virgin Mary) yang terletak tak jauh dari Sungai Scheldt. Bangunan bergaya gothic ini mulai dibangun pada tahun 1352, dan baru selesai setelah 229 tahun kemudian di tahun 1521. Suatu periode panjang hanya untuk mendirikan sebuah bangunan. Dan itupun, menurut brosur wisata yang saya baca, masih ada yang kurang sempurna dari pembangunan gereja itu. Menaranya baru satu yang jadi dari dua buah yang direncanakan semula. Keindahan gereja ini, adalah pada arsitekturnya yang menjulang tinggi, ciri khas bangunan gereja di Eropa Barat. Saya ingat Gereja Koln yang juga berarsitektur sama, dan Gereja Squadra La Familia di Barcelona yang tidak kunjung selesai dibangun yang saya datangi tahun lalu. Di dalam gereja ini juga terdapat karya unik yakni tripthych (lukisan altar yang umumnya terdiri dari tiga panel) dan lukisan indah seperti The Resurrection of Christ (Kebangkitan Kristus) karya pelukis ternama Antwerp, Pieter Paul-Rubens yang terkenal dengan gaya Barock-nya.

Namun, dari semuanya itu, ada suatu monumen yang tampak ikonik tepat di depan City Hall. Patung seorang pria hijau yang sedang mengayunkan tangan, seakan-akan sedang melemparkan sesuatu. Siapa dia, dan mengapa dia dimonumenkan di situ?

***

Seringai si raksasa Antigoon menghilang ketika kapal tersebut merapat ke dermaga. Berganti dengan raut muka kejam tanpa belas kasihan. Dengan berteriak ia memanggil si pemilik kapal untuk keluar. Rupanya Antigoon berniat merampok isi kapal tersebut. Namun ia tidak tahu, kapal tersebut sesungguhnya kapal yang berisi seorang Jenderal Romawi, Silvius Brabo, seorang teman dekat Caesar, penguasa Kota Brabant dan ketujuh anak buahnya yang sengaja datang untuk menumpasnya. Kabar adanya raksasa perampok di Sungai Scheldt yang telah memotong banyak tangan penduduk telah mengusik sang penguasa.

Tiba-tiba dari dalam kapal, Brabo, dengan pedang terhunus melompat dan menyerang.  Pedangnya mengayun keras ke arah leher Antigoon. Namun dengan gampang Antigoon yang memang sangat kuat menepiskan serangan itu dengan pedangnya. Brabo terhuyung. Salah satu anak buah Brabo, Aleyns, kemudian mengambil busur dan memanah Antigoon tepat di lehernya. Antigoon sempoyongan, namun ia semakin marah dan masih sempat membanting dua anak buah Brabo yang lain dan melukai sisanya dengan pedang sebelum terjatuh. Melihat kesempatan itu, Brabo langsung melancarkan serangan. Diayunkan pedangnya tepat ke dada Antigoon. Darah menyembur seketika, namun Antigoon masih mencoba berdiri. Namun tak lama, si raksasa ambruk dan tewas. Membalaskan tindakan Antigoon sebelumnya, Brabo kemudian memotong pergelangan tangan Antigoon dan melemparkannya ke Sungai Scheldt. Dan ia berkata,”Kota ini sudah bebas dari Si Jahat sekarang, dan setiap orang dan penduduk kota, dapat berdagang dan hidup dengan bebas”.

***

Dan demikianlah, ujar Prof. Hubeau sebagai penutup tur singkat itu, bahwa patung pria hijau di tengah fountain (air mancur kecil) yang sedang berpose melempar sesuatu itu adalah monumen perunggu yang menggambarkan legenda Brabo saat menumpas kejahatan raksasa Antigoon, dibangun oleh  pematung Jef Lambeaux tahun 1887. Tambahnya, jika ingin melihat potongan tangan yang terlempar, kita dapat melihatnya di Meir Square dan di Central Station. Hanya saja, yang di stasiun posisinya menengadah ke atas dan dinamai “Peaceful Hand” atau tangan damai.

Terlepas dari kebenarannya, sebagian percaya bahwa Antwerp beroleh nama dari peristiwa itu: Ant berarti tangan, Werpen berarti melempar.  Jadi, dengan cerdas, legenda itu dikemas sebagai asal muasal Antwerp, dengan Brabo sebagai pendiri kota Antwerp (walau nama Brabo sebenarnya telah terlebih dulu diabadikan sebagai nama kota tetangga yakni Brabant), dan monumen itu sebagai lambang kebebasan, termasuk kebebasan berdagang dan berkehidupan di kota Antwerp. Saya lalu berpikir, barangkali mitologi Brabolah yang sesungguhnya menjadi  inspirasi dan zeitgeist (semangat zaman) kota Antwerp dalam menata kehidupan bermasyarakatnya. Mitologi memang dapat dijadikan ikon kota sekaligus pemanis pariwisata disuatu kota. Bagi pengunjung, lebih mudah mengingat sejarah yang dibalut mitologi daripada sejarah kota yang biasa-biasa saja.

Dari patung Brabo, kami lalu menuju tepi Sungai Scheldt. Ingin melihat tata sungai yang rapi di sepanjang esplanade-nya. Namun yang kami lihat justru pesta kaum homoseksual di sebuah kapal pesiar yang sedang berlabuh. Ada bendera pelangi di buritan kapal. Dalam hati saya membatin, kebebasan berekspresi seperti ini barangkali juga salah satu buah dari kultur kota yang dinamai “potongan tangan yang dilempar ke sungai” ini. Tidak akan ada yang seperti itu agaknya, andai yang menang dalam pertarungan adalah Si Raksasa Druon Antigoon. 

Dimuat di Koran Tempo Minggu, 17 November 2013

Hidupku lautku

Entah berapa orang yang kenal Tarempa, ibukota Kabupaten Kepulauan Anambas, di Kepulauan Riau. Kampung kecil di Pulau Siantan, tak layak ia disebut kota. Sembilan jam perjalanan memakai kapal cepat dari Tanjungpinang. 24-30 jam pakai kapal perintis.

Ia pun hanya segaris lengkung di teluk yang kecil di bagian utara pulau, dengan rumah-rumah yang didirikan di pinggir laut. Hidup dari laut, hidup dengan laut, hidup di tepi laut.

Hasil laut adalah kebanggaan, melimpah tapi tak semua murah. Lebih menggiurkan dijual ke luar. Cumi murah, tapi kenapa udang mahal? Dan transportasi laut ternyata susah, dari Jemaja ke Tarempa, dari Tarempa ke Bunguran, Natuna hanya terbatas.

Orang laut, hidup bersama laut, pelan-pelan lebih mencintai darat. Gagahnya nenek moyang mereka di Gunung Kute, Pulau Matak sebagai penjelalah lautan Cina Selatan, dah hei.. mereka juga bajak laut, lanon dari Campa, beraksi Selat Malaka dan Selat Karimata di abad ke 15, serasa tak bersisa. Jalan raya dibikin di atas air, menyusur pinggiran agar lebih mudah berpergian dengan motor roda dua. Tak ada tempat untuk roda empat. Bukit hijau ditebas guna membikin akses jalan raya.  Biaya rumah mahal, setahun kontrak rumah dua kamar di bawah batu gunung pun 25 juta. Bikin rumah, hanya sepetak ratusan juta.

Sinyal selular mati hidup.

Dan lalu di ujung hari, saat duduk minum kopi dan makan mi Tarempa di pinggir laut, saya berpikir, apa yang membuat mereka bertahan, apa yang membuat sore dan pagi hari semarak dengan orang lalu-lalu menikmati pinggir laut, sebagian memancing ikan tamban, apa yang membuat tengah malam warung kopi di pasar tetap ramai dan hangat, dan bahkan membuat pendatang berdatangan di kepulauan yang dijuluki Raja Ampat dari Barat ini?

Saya yakin, ada sesuatu, yang tak terjangkau bagi saya orang asing yang naif, itu lebih dari hanya sekedar sinyal yang mati hidup. Dapatkah anak-anak kecil di Pasir Peti ini menjawabnya?

Anak di Tarempa

Tarempa, 22-25 Maret 2014

Terima kasih

Bapa di surga yang baik,
terima kasih
Saat ini Engkau beri hadiah hari jadi pernikahan kami yang menakjubkan.
Kesempatan menjadi pengantar seorang manusia kecil citra diri-Mu,
Ialah penyertaan ilahi yang sungguh terasa dalam hidup kami.

Semoga Engkau berkenan menolong kami, melindungi dia
Dalam mencintai dan menjaganya, sekarang, dalam lahirnya nanti, dan selamanya..
Memberikan orang-orang yang baik.

Hingga ia tumbuh sehat selalu, sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya.
Dan kami,
dapat mendampinginya sekuat jiwa raga kami.

Kami bertiga, engkau bertiga, kasihanilah kami. Yang lemah ini.

Amin.

Bogor, 2 Januari 2014

Antara Pototano dan Tongo

Seperti gadis yang telah dipinang. Molek berhias emas, tersembunyi di selimut hijau gunung dan hutan, di pedalaman biru laut dan pantai di pantai selatanmu.

Tapi siapa yang mendapatkanmu? Kegairahan apa yang kau bawa kepada mereka yang tak peduli apapun selain persinggahan karena emas?

Sumbawa Barat, 9-13 Juli 2012

Senja di Esplanade Sungai Sarawak

Subuh yang berkabut mengepung Entikong, Kalimantan Barat, pada pengujung April lalu. Meski hari masih prematur, suasana di gerbang Pos Pemeriksaan Lintas Batas telah ramai oleh ratusan orang yang hendak masuk ke Sarawak, Malaysia. Mereka sudah antre di pintu masuk, yang biasanya baru dibuka pada pukul 05.15. Kebanyakan adalah pekerja perkebunan kelapa sawit.

Saya juga antre. Bukan untuk mencari kerja, tapi hendak melancong ke Kuching, ibu kota Sarawak. “Ape you nak buat di Kuching? Berape lame?” tanya petugas imigrasi perbatasan Malaysia saat memeriksa paspor saya. Setelah saya menjawab hanya untuk berwisata, paspor langsung dicap visa social visit selama 14 hari. Separuh lebih singkat dari visa sejenis dari Singapura.

Rampung dengan urusan imigrasi, saya melanjutkan perjalanan dengan bus Eva, yang bernomor polisi Malaysia. Bus berpenyejuk udara yang membawa saya dari Pontianak, Kalimantan Barat, sejak semalam itu melaju di atas jalan beraspal mulus. Lalu lintas masih sepi. Hanya satu-dua mobil yang lewat. Sepeda motor tidak terlihat sama sekali.

Entikong-Kuching akan ditempuh sekitar dua jam. Deretan pepohonan dengan latar belakang perbukitan mendominasi awal perjalanan. Sinar matahari pagi mulai menyirami kanopi pepohonan yang masih bersaput kabut. Indah, khas pemandangan hutan hujan tropis.

 

*****

Awalnya, Sarawak adalah wilayah jajahan Kerajaan Majapahit. Pada abad ke-15, saat pengaruh Majapahit pudar, Islam masuk ke sana lewat Kerajaan Brunei, yang kembali berkuasa. Dan masuk pula pengaruh Melayu dari pesisir timur Sumatera.

Atas pengaruh Inggris, Kesultanan Brunei kemudian menyerahkan Kota Kuching kepada seorang eks tentara Inggris, James Brooke. Ini adalah hadiah karena Brooke berjasa memadamkan pemberontakan penduduk lokal di Sarawak. Brooke kemudian diangkat menjadi Gubernur Sarawak. Bahkan, pada 1841, ia diberi wewenang menjadi penguasa penuh Sarawak dengan mendirikan dinasti, yang oleh bangsa Melayu disebut sebagai Dinasti Rajah Putih (1841-1946)–yang berarti “raja berkulit putih”.

Sungai Sarawak yang membelah Kuching merupakan urat nadi perkembangan kota itu serta menjadi pusat kegiatan dan perdagangan masyarakat. Di Kuching, para pedagang Cina banyak berdatangan, berbaur dengan penduduk asli Borneo, yakni Dayak di pedalaman (Bidayuh, Iban, Orang Ulu) yang masih berkerabat erat dengan Dayak di Kalimantan Barat, serta Melayu dari kesultanan-kesultanan di daerah Semenanjung Malaysia.

Nama Kota Kuching diperkirakan berasal dari pohon mata kucing yang banyak tumbuh di pinggir Sungai Sarawak. Namun ada juga yang mengatakan bahwa kata “kuching” berasal dari cochin, kosakata India, yang berarti pelabuhan. Itu merujuk pada daerah yang mulai berkembang saat itu. Perantau India diduga datang paling awal dan ikut mendirikan kota ini.

Tapi, dari mana pun asalnya dan tanpa perlu ada kaitan nama Kuching dengan hewan kucing, saat ini pemerintah Sarawak dengan pintar memanfaatkan nama ibu kotanya itu menjadi brand name wisata. Mereka menggaungkan slogan yang menyebutkan bahwa Kuching adalah city of cats atau the world’s capital of cats. Juga dengan mendirikan Museum Kucing, memasang patung kucing di berbagai sudut kota, serta membuat berbagai ragam suvenir berbentuk atau bergambar kucing.

Kuching adalah kota yang lengang. Kesan kedua, kota ini sangat menghargai pluralisme. Tulisan Cina dipampang bersanding dengan Inggris dan Melayu hampir di mana-mana, termasuk untuk nama toko.

 

*****

Sesampai di terminal yang tidak besar, hanya setengah lapangan sepak bola, saya dijemput Peter House, anak pemilik homestay yang akan saya tinggali di daerah Taman Timberland. Dalam perjalanan, saya bertanya tentang penyebab sedikitnya sepeda motor di jalan. Ia menjawab sambil tertawa. Katanya, Pemerintah Kota Sarawak “agak gila” dengan memberikan pajak tahunan yang sama antara motosikal (sepeda motor) dan kereta (mobil). Itu membuat penduduk enggan memiliki sepeda motor dan lebih memilih mobil.

Saya akan tinggal di homestay dengan tarif 40 ringgit (sekitar Rp 120 ribu) semalam. Rumah penginapan Peter telah menjadi favorit bagi orang-orang Pontianak yang akan berwisata di Kuching ataupun berobat di sejumlah rumah sakit yang banyak tersebar di sana, seperti Timberland Hospital, Normah Medical Specialist Centre, dan Sarawak General Hospital.

Setelah sarapan di sebuah warung di dekat penginapan, hari itu saya berniat menjelajahi kota. Peter mengusulkan dua lokasi: Damai di Santubong dan Kuching Waterfront di pusat kota (bandar raya, dalam bahasa Malaysia).

Damai, berjarak sekitar 35 kilometer arah utara dari pusat kota, merupakan tujuan wisata terpopuler saat ini di Sarawak. Saya ke sana dengan menggunakan taksi. Sopirnya, Lua, seorang Cina Hakka (Khek), subetnis yang juga banyak bermukim di Singkawang, Kalimantan Barat, berbicara dalam bahasa Melayu berlogat Cina.

Dalam perjalanan, Gunung Santubong tampak menjulang. Gunung setinggi 810 meter di atas permukaan laut itu terlihat dominan karena merupakan satu-satunya tempat tertinggi di daerah utara Sarawak yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Nama Santubong, gunung yang merupakan tempat suci suku Dayak Iban di masa lalu, berasal dari kata si-antu-bong, yang berarti kapal para roh (bong = kapal, antu = roh). Ia akan membawa roh dari orang mati ke dunia lain.

Setelah mengitari Santubong, Lua membawa saya masuk ke Damai Resort. Kawasan wisata Damai itu sudah dimiliki dan dikelola oleh swasta. Agar bisa masuk, pengunjung perlu merogoh kocek 3 ringgit (Rp 9.000) dengan imbalan bonus teh botol Sarawak. Resor itu merupakan tempat favorit turis-turis bule menginap. Tersedia homestay dengan harga bervariasi, dari 120 hingga 300 ringgit (Rp 350–900 ribu).

Jika para pengunjung ingin berjemur di pantai dan mandi di laut, mereka hanya perlu berjalan sebentar. Dan, bila mereka ingin mandi air tawar, tersedia kolam renang. Tampak beberapa pengunjung berenang agak ke tengah laut, sebagian berjemur di bawah pohon kelapa, sebagian lagi bermain banana boat. Bagi pengunjung resor yang ingin beraktivitas di luar ruang, tersedia fasilitas jungle trekking ke Gunung Santubong. Tersedia rute-rute dan pemandu.

Saya hanya duduk di bawah pohon kelapa, menikmati embusan angin. Bagi saya, suasana dan pantai di sana masih kalah eksotis dibanding pantai di Gili Trawangan, Lombok. Pasirnya juga kalah putih. Airnya tak begitu biru. Tapi yang membuat saja kagum adalah penataan ruang yang bagus dan fasilitasnya lengkap. Yang dijual bukan hanya pesona alam, tapi juga kenyamanan pengunjung.

Itu juga yang ditawarkan Sarawak Cultural Village, yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Damai Resort. Di area seluas 17 hektare itu, pengunjung bisa menyaksikan kehidupan tradisional dan keseharian suku-suku yang mendiami Sarawak, seperti Bidayuh, Orang Ulu, Iban, Melayu, dan Cina. Terdapat sekitar 200 orang yang tinggal di wilayah itu. Mereka mengelola tujuh rumah tradisional, bercocok tanam, berpakaian adat, serta mengerjakan kerajinan tangan tradisional yang juga dijual kepada turis. Juga terdapat pertunjukan dan tarian adat yang mereka bawakan. Ya, seperti Taman Mini Indonesia Indah, hanya ini lebih berfokus pada etnik.

 

*****

Sekitar pukul 14.00, Lua mengantar saya ke Kuching Waterfront. Kawasan wisata favorit itu terletak di tepi Sungai Sarawak. Lapangan terbukanya (esplanade) ditata dengan rapi, menghadap ke arah matahari terbenam. Di latar belakangnya tampak astana (istana) yang beraksen Melayu dan Fort Margherita yang bergaya kolonial Inggris.

Astana yang dibangun oleh Charles Brooke (penerus James Brooke) pada 1870 itu adalah bekas kediaman penguasa Rajah Putih, yang kini menjadi kediaman resmi Yang Dipertuan Agung Sarawak. Anak-anak muda yang bermain bola dan keluarga muda dengan anak kecil yang bermain gelembung menghiasi esplanade yang diteduhkan oleh jajaran pohon. Suasana begitu hidup. Jika ingin mengunjungi Astana dan Fort Margherita di seberang sungai, kita dapat menaiki kapal klotok dengan biaya 0,5 ringgit (sekitar Rp 3.000).

Di suatu sudut, saya menjumpai seorang seniman dari suku Iban, dengan tubuh penuh tato, sedang memetik sape (gitar tradisional suku Dayak) dengan merdu. Melodi yang dia nyanyikan lembut mengiringi sore. Tak terasa, memori saya melayang ke suasana pedesaan kampung Dayak yang damai. Jika pengunjung ingin membeli suvenir Sarawak, di kawasan Waterfront inilah tempat yang tepat. Jejeran toko menjual segala jenis cendera mata, dari kaus bermotif Sarawak, tas kucing, gantungan kunci kucing, kain batik Dayak, sampai lada hitam dan teh khas Sarawak.

Berada di kawasan Waterfront, saya kembali merasa iri. Negara bagian yang juga tetangga Pontianak ini bisa “merayakan sungai” dengan pengelolaan sangat baik. Di Indonesia, begitu banyak kota yang dibesarkan dan tumbuh di pinggir sungai, misalnya Banjarmasin, Palembang, Tangerang, dan Pontianak, tapi hampir tak ada yang menjadikannya aset wisata kota nan nyaman dan murah meriah seperti di Kuching Waterfront ini.

Tapi saya malas memikirkannya. Saat ini saya hanya ingin menunggu matahari terbenam berlatar kubah Astana yang tampak megah.

Edisi cetak dimuat di Koran Tempo Minggu 27/5/2012

Pantai yang punya dua matahari

Hanya nama besar pantai pasir putih, sungai hijau dan goa alam? Di selatan Jawa, ujung Ciamis, di Pananjung-Pangandaran, ancaman tsunami beradu dengan peluang wisata yang naik turun. Sementara, paduan budaya malu-malu Jawa dan Sunda menunggu di wilayah yang berarti “tanah di mana orang-orang akan datang mencari penghidupan”

Pangandaran, 3-6 April 2011

--

Menelusuri goa-goa Pangandaran

Berkunjung ke Pangandaran? Segera yang terbayang adalah pantai. Destinasi wisata andalan Kabupaten Ciamis yang terletak 222 km menuju tenggara Bandung ini memang dikenal dengan pantai landai yang indah memanjang dan ombar yang berdebur tiada henti di Laut Selatan Jawa. Kawasan wisata ini menyediakan segala keasyikan wisata air seperti berenang di pantai, bermain ombak dan luncuran yang pasti menyenangkan, naik kapal mengelilingi pesisir Cagar Alam Pananjung-Pangandaran, menyewa banana dan termasuk menikmati pesona matahari terbit dan matahari terbenam di kawasan pantai yang berdekatan. Yang terakhir ini, dimungkinkan karena Pangandaran mempunyai tanjung menyerupai buah menggantung, sehingga terbentuk dua pantai, dengan arah hadap yang berbeda:   Pantai Timur dengan pemandangan matahari terbitnya, dan Pantai Barat dengan matahari tenggelamnya. Tapi apakah hanya itu yang dimiliki Pangandaran, tanah yang sering disebut Tatar Sunda Selatan yang paling barat?

***

Angin pantai selatan Jawa tidak terlalu kencang di pagi akhir Maret 2011 ini. Jam menunjukkan sekitar pukul sepuluh. Hujan yang turun tiba-tiba membuat saya bergegas memasukkan kamera ke dalam tas. Lalu berlari untuk berteduh di pondok makan di ujung Pantai Barat itu. Tidak jauh, sekitar 5 meter di hadapan saya ada gerbang Cagar Alam Pananjung.

Di dalamnyalah tujuan hari ini: goa-goa alam Pananjung. Kemarin Green Canyon di Sungai Cijulang (30 km dari Pangandaran) sudah membius saya dengan lembah sungai hijau toskanya yang eksotis. Kini, rasanya pas juga keluyuran di goa-goa alam yang kabarnya sering dijadikan lokasi syuting film, yang kaya kisah religious dan juga mistis, serta memiliki bentukan alam yang aneh-aneh.

Pada tahun 1922, Residen Priangan  itu waktu itu, Mister Everen, menghendaki adanya suatu wilayah perburuan. Maka tanjung di selatan Ciamis lalu ditanami berbagai jenis tumbuhan dan dimasukkan berbagai jenis hewan seperti rusa, banteng, monyet, burung. Sebagai hasilnya, saat ini kawasan tersebut menjadi sangat hijau dengan pepohonan yang lebat, dan dihuni oleh berbagai hewan seperti rusa, lutung, monyet dan banteng (walau yang terakhir ini sudah beberapa lama tidak terlihat lagi keberadaannya).Selanjutnya, melihat keragaman flora dan fauna di dalamnya, apalagi sejak ditemukan Bunga Raflesia Padma, maka pada tahun 1961 daerah tersebut menjadi Cagar Alam Pananjung dengan luas 530 hektar. Di dalam kawasan ini terdapat Taman Wisata Alam seluas 37.70 hektar.

Udara membiaskan cahaya matahari yang dibalut bekas hujan. Suara monyet ekor panjang yang sedang bermain di pantai Cagar Alam Pananjung terasa dominan. Ditemani seorang pemandu lokal, Sudi, saya memulai perjalanan ke dalam cagar alam melalui Taman Wisata. Sebenarnya saya lebih suka menjelajah tanpa pemandu, lebih menantang. Apalagi letak goa-goa tersebut juga dipetakan dalam denah sederhana di pintu masuk. Tapi kali ini saya berpikir bahwa Pangandaran dan goa-goa alamnya pasti akan berbeda jika diceritakan oleh penduduk lokal, yang tinggal dan berinteraksi dengan segala yang ada di situ. Kekhasan suatu daerah akan terungkap lewat cerita-cerita yang berbeda dengan yang beredar, jauh lebih kaya (baca: penuh bumbu cerita), dan menarik. Sudi meminta 60 puluh ribu rupiah untuk jasanya mengantar pengunjung berkeliling. “Saya pemandu bersertifikat, dari Dinas Arkeologi waktu mengikuti pelatihan guide pariwisata Pangandaran Juni tahun lalu“, katanya meyakinkan saya.

Sudi adalah pemuda Sunda berusia sekitar 25 tahun. Berbadan tegap, agak pendek dan berkulit gelap terkena matahari. Ia tinggal di Pantai Timur Pangandaran, berdarah Jawa dari neneknya. Hampir 7 tahun ia telah menjadi pemandu di Cagar Alam Pananjung ini. Darinya saya tahu bahwa mulanya pesisir ini merupakan wilayah Kerajaan Galuh, kemudian Kerajaan Pananjung, dan Karesidanan Priangan sebelum menjadi wilayah Kabupaten Ciamis seperti sekarang ini. Nama aslinya adalah Pananjung, berasal dari kata bahasa Sunda Pangnanjung-nanjungna, berarti wilayah tanjung paling subur atau paling makmur. Agaknya, itu terkait dengan kondisi geografis Pananjung yang berombak kecil sehingga memudahkan nelayan melaut dan mendapat banyak tangkapan. Dan karena itulah, maka banyak pendatang yang mencari penghidupan, sehingga lambat laun daerah ini lebih dikenal sebagai Pangandaran, yang bisa berarti tempat menyimpan perahu (andar – bahasa Sunda) yang harafiahnya juga bisa menjadi padanan dari dua kata: pangan yang berarti makanan dan daran yang berarti pendatang.

Bersama Sudi, saya masuk ke Cagar Alam dari pintu barat. Mungkin karena Sudi telah mendapat pelatihan arkeologi maka di situs Batu Kalde, yang merupakan situs peninggalan sejarah, ia mampu bercerita dengan baik. Situs batu Kalde merupakan peninggalan Hindu di zaman Kerajaan Pananjung yang digunakan mula-mula untuk pemujaan bagi seorang Sapi Gumarang, yang dijelmakan dengan batu yang menyerupai anak sapi sebagai monumen utama, dikelilingi batu-batu agak kecil di sekelilingnya yang seakan-akan ditaruh untuk menjaga batu utama itu. Tampak terawat, bersih dari dedaunan pohon-pohon yang menaunginya. Agaknya selalu disapu. Berpagar sederhana, cuma terbuat dari dahan pohon jati. Sapi Gumarang, yang konon adalah seorang utusan bajak laut pernah merusak seluruh lahan pertanian karena permintaannya untuk meminta padi ditolak oleh Raja Anggalarang yang memerintah pada waktu itu, namun pada akhirnya mengabdi pada raja dengan ikut memberantas hama yang dibuatnya sendiri itu.

Sudi mengatakan bahwa, masyarakat Pananjung masih memelihara Situs Batu Kalde untuk mengenang sifat ksatria Sapi Gumarang dan sekaligus mengingat asal-usul mereka yang berkebudayaan Hindu agraris. Walau tentu saja, sesungguhnya yang disebut pemeliharaan tersebut hanya berupa kegiatan membersihkan situs dan akses menuju ke sana. Sudi sendiri, rupanya juga merupakan karyawan honorer yang khusus digaji untuk membersihkan situs ini.

Yang unik, di sekitar situs Batu Kalde terdapat pohon banir (akar papan) berdiameter 2 meteran yang sudah berumur ratusan tahun dan akar-akarnya tampak seperti roket sehingga oleh Sudi, pohon itu disebut pohon roket. Selain itu juga terdapat sebuah pohon yang daun-daunnya tidak sama bentuk dan coraknya antar satu dan lainnya. Dalam satu cabang, bisa terdapat daun yang berbentuk bintang segi lima, elips, cenderung bulat ataupun segitiga. Sayang sekali saya lupa nama yang disebutkan Sudi, sehingga tidak bisa menelusuri di literatur mengenai keunikan biologis tumbuhan ini.

Selepas itu saya masuk ke Goa Parat atau Keramat. Untuk masuk ke dalamnya saya harus membungkuk karena pintunya sangat rendah. Saya kaget karena di depan pintu masuk ini ada dua nisan yang cukup terpelihara. Apakah ini yang membuatnya disebut Goa Keramat? “Tidak. Di dalam nisan tiruan itu tidak ada jasad manusia sebenarnya. Ini makhom bukan makam,” kata Sudi.”Hanya untuk mengingat Syekh Ahmad dan Muhammad yang dulu menyebarkan agama Islam di Pangandaran, dan konon “moksa“ saat bersemedi di goa ini.

Yang unik dari Goa Keramat adalah bentukan alamnya yang beranekarupa. Ada stalagmit yang menyerupai unta dan kemudian agak ke dalam, kita akan menjumpai stalagmit yang menyerupai, maaf, alat kelamin pria dan wanita. Sudi bercerita bahwa bagi yang belum mendapat pasangan, bisa memegang stalagtit yang berbentuk kelamin lawan jenis sambil memohon kepada Yang Kuasa. Konon, akan terkabul. “Namanya saja kepercayaan lokal, Mas,“ katanya,“yang gampang percaya biasanya mempraktekkan, yang tidak hanya berfoto-foto saja“.

Kemudian, ada batu cekung, seperti wajan yang berisi air. Ada tetesan air yang katanya tidak pernah berhenti menetes bahkan di musim kemarau panjang, dan apabila diusapkan ke muka bisa membuat tampak selalu awet muda. Hmm…Kata Sudi, mitosnya inilah “kaca benggala” Mak Lampir, sehingga syuting film Mak Lampir pernah dilakukan di sini.

Selain itu, di dalam Goa Parat ini juga terdapat batu berbentuk paha ayam dan landak. Ya, sekeluarga landak yang jadi maskot goa. Sudi bilang landak itu pemberian turis Afrika beberapa tahun lalu, dan saat saya datang sudah ada empat ekor, Joni and Lince sebagai induk dan Ariel dan Luna nama kedua anaknya. Kok Ariel dan Luna? “Lahirnya pas kejadian yang heboh itu”, Sudi cengar-cengir menjelaskan. Di dekat pintu keluar, yang terletak di pantai timur Taman Wisata, saya sempatkan melihat lagi stalagmit yang berbentuk gajah betina dan anaknya. Wah, banyak sekali bentuk-bentuk unik di Goa Parat ini.

Dari situ, sembari berjalan menuju goa berikutnya, yakni Goa Miring, Sudi bercerita tentang legenda seorang ibu yang sangat tamak akan kekayaan duniawi sehingga tega mengorbankan anaknya ke makhluk halus. Pengorbanannya dilakukan di Goa Miring itu. Karena itu, terdapat batu yang mirip tulang punggung manusia, seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dan pocong yang sedang menatap keduanya. Batu-batu itu terbentuk konon akibat kutukan. Sudi memperlihatkan batu-batu tersebut dengan menyorotkan senternya ke bagian atas goa. Entah saya yang kurang imajinatif atau apa, tak juga batu-batu yang disorot Sudi itu membentuk serupa ibu-anak dan pocong. “Begitulah, hendaknya menjadi pengingat kita bahwa meminta itu hendaknya hanya kepada Yang Kuasa, ”kembali Sudi menutup ceritanya dengan pesan moral.

Ketika kami memasuki goa berikutnya, Goa Lawang, yang pernah dijadikan lokasi syuting film silat Brahma Kumbara, dan setelah mengagumi batu berbentuk siput dan ular, mendadak senter yang dipegang Sudi mati. Padahal di dalam goa itu gelap sekali. Tiba-tiba ada bunyi benda jatuh, dan lalu desisan pelan.

“Diam di situ, Pak!”, suara Sudi tegang. Rupanya, ada ular kecoklatan jatuh dari langit-langit goa, tepat di depan kami. Seakan menghadang perjalanan. Senter saya yang tidak mati, masih sempat menyoroti ular yang kepalanya sedikit mengembang dan lebih besar dari badannya yang dalam posisi menyerang. Samar-samar saya dengar Sudi mengucapkan beberapa kata, merapal.

Entah karena rapalan atau hal lain, pelan-pelan si ular mengubah posenya dan Sudi bilang kami berdua sudah bisa lewat. Maka pelan kami berjalan sedikit di pinggir, dan tanpa diminta Sudi mulai bercerita bahwa memang penunggu Goa Lawang adalah seekor ular putih jejadian yang berkepala manusia. Waduh…Tapi, katanya dia tidak kuatir karena kami tidak melakukan sesuatu hal yang jelek. Saya sendiri, lebih percaya bahwa ular itu nyata, dia sedang berburu, mungkin berburu kelelawar, dan dia jatuh hanya karena merasakan kehadiran kami di goa yang gelap itu.

Saat keluar, tiba-tiba hujan deras. Kami terjebak di pintu keluar Goa Lawang. Suara air yang menerpa daun membuat suasana kaya dengan nuansa alam. Saat itu sekitar jam tiga sore. Masih ada rencana ke Goa Panggung. Goa yang dipercaya pernah menjadi tempat pertapaan Embah Jaga Lautan yang menjadi penghubung masyarakat Pangandaran dengan Nyai Loro Kidul, Penguasa Laut Selatan.  Tapi sayang, hujan tak kunjung reda, sementara waktu terus mendekati sore. Sudi pun pamitan pulang ke rumahnya.

***

Akhirnya hujan berhenti. Karena alasan waktu, saya memutuskan untuk langsung kembali ke penginapan, tanpa ke beberapa goa lain selain mampir sebentar di Goa Panggung. Menyusuri pantai taman wisata di sebelah barat, dan pasir pantai yang basah bekas hujan, monyet-monyet ekor panjang berkeliaran mencari makan. Beberapa bule sibuk mengumpani mereka dengan kacang. Di sisi tepi hutan, beberapa ekor rusa merumput, tanpa takut-takut dengan pengunjung. Anak-anak bermain gembira, penjual layanan papan luncur sabar menunggu penyewa, nelayan mulai melaut, dan bahkan penjual makanan bersliweran menunggu senja. Pangandaran senja hari habis hujan, berawan kelabu yang melankolis, menunjukkan eksotismenya yang dulu pernah memikat pembesar Belanda di bumi Priangan.

Telah menelusuri berbagai goa yang penuh legenda di Pananjung-Pangandaran ini tak urung membuat saya berpikir, betapa terpatrinya cerita lokal di sebagian benak masyarakat Pangandaran. Secara nyata, ini menandakan keterikatan mereka dengan sejarah-budaya leluhur sangat kuat. Selain pesona wisata pantainya yang memikat, Pangandaran juga memiliki keunikan lokal lewat goa-goa alam. Mudah-mudahan hal itu tidak lalu menjadi hanya sebatas kisah mistis dan legenda seperti film-film seram dan laga yang sering syuting di situ.

Edisi cetak dimuat di Koran Tempo Minggu, 21/08/2011



 

Kapal di daratan

Alam punya kehendak, tapi manusia memang gampang melupakannya. Seandainya Kapal PLTD Apung I di Kampung Punge Blang Cut seberat 200 ton bisa dikelola serius jadi sebuah memorial, mungkin kita bisa jadi manusia pembelajar yang lebih cerdas.

Banda Aceh, 5-6 Mei 2011